Ditutup dengan sebuah dialog antar bissu yang menjelaskan bahwa sang mempelai bukanlah keturunan I La Bulisa.
(Cuplikan Prosesi Pangadereng Bissu)
Hj. Jannah, The Last Angkuru
Menurut pengakuannya, hanya dua daerah yang memiliki Angkuru. Yaitu Pammana Wajo dan Barru Ketika ditanya apa itu "Angkuru", beliau menjawab singkat : "
Natinroi bissue". Yang berarti yang mengikuti para
Bissu.(6). Sebuah istilah yang sederhana untuk menjelaskan pemimpin
Bissu Pammana Wajo.
|
Hj. Jannah, Angkuru Bissu Wajo (Dok.pribadi) |
Sebelum menjadi
Angkuru, terlebih dahulu ia menjadi
Angkuru Lolo. Semacam wakil dari
Angkuru. Hal itu berlaku pada
Angkuru sebelumnya. Ia menyebut beberapa
Angkuru yang mendahuluinya antara lain
Angkuru Melleq,
Angkuru Sakka,
Angkuru Labacondong,
Angkuru Palesangi,
Angkuru Sawwaleng,
Angkuru Indo Ringgi.
(7). Saat ini,
Angkuru Lolo adalah Hj. Fera. Disebutkan bahwa
Angkuru tidak pernah terputus sejak awal adanya
Bissu. Sayang sekali tidak ada catatan yang menuliskan
Angkuru pertama hingga terakhir.
|
Anggota Bissu dengan Panampa dikepalanya (dok.pribadi) |
Dilantik menjadi
Angkuru sekitar tahun 2008, ia terpilih secara aklamasi oleh para
Bissu. Meski ada
Bissu yang lebih senior. Selama menjadi
Angkuru, Hj Jannah selalu merawat
Gau-gaukeng. Baik perawatan secara fisik, maupun ritual secara berkala.
Gau-gaukeng itu kebanyakan diperoleh dari
Angkuru sebelumnya yaitu
Angkuru Melleq. Menurutnya
(8),
Angkuru Melleq rutin merawat
gau-gaukeng tersebut di malam Senin, malam Rabu dan malam Jumat. Meski sibuk, Hj. Jannah tetap merawat
gau-gaukeng tersebut meski tidak serutin pendahulunya,
Angkuru Melleq.
Sebagai
Angkuru yang membawahi sekitar 30-an
Bissu. Hj. Jannah berkewajiban membimbing anggotanya. Namun ia membatasi diri hanya sekadar mengingatkan dan menyampaikan saja. Bukan menekan, tambahnya.
Angkuru Hj. Jannah sangat fasih membaca naskah Ilagaligo yang beraksara lontara. Sebuah kemampuan yang makin langka di Sulawesi Selatan. Dalam hal membimbing
Bissu anggotanya, sampai saat ini baru satu orang yang mengikuti jejaknya dalam kefasihan membaca Lontara.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Perubahan struktur sosial politik dalam kurun satu abad terakhir, berdampak pada kehidupan para
Bissu. Dulu mereka dijamin keberlangsungannya oleh pihak kerajaan. Setelah kerajaan bubar dan melebur ke Republik Indonesia, mereka dituntut bisa bertahan hidup dengan berbagai tekanan.
Mungkin para
Bissu di Sulawesi Selatan adalah komunitas yang paling merasakan dampak dari peristiwa DI/TII. Betapa tidak, sistem kepercayaan yang cenderung sinkretis ditambah peran sebagai gender ke-5, menjadikan
Bissu sebagai salah satu target Operasi Toba. Operasi yang dilancarkan DI/TII tahun 1955 untuk menegakkan Islam.
Tutur yang terwariskan adalah "
Wettunna ikellu bissue". Ketika para
Bissu dipaksa bercukur. Memang dahulu para
Bissu memiliki rambut panjang menyerupai perempuan. Para
Bissu dipaksa bercukur agar berambut pendek kembali menjadi lelaki.
Namun dengan berbagai keterbatasan, komunitas
Bissu yang tersebar termasuk di Wajo ini masih bisa bertahan. Para
Bissu berprinsip "
deq nabotting nabbija" yang berarti tidak menikah tetapi berkembang biak. Seolah ingin menjelaskan bahwa para
Bissu akan terus eksis sepanjang zaman.
Untuk bertahan hidup, para
Bissu kadang bertani. Mereka hidup dengan bertanam palawija. Seperti jagung dan kacang-kacangan. Sesekali saat acara pengantin, jasa para Bissu dibutuhkan. Baik sebagai
Indo Botting (9),
Jennang (10), maupun sebagai pelengkap
Pangadereng (11). Sementara, event budaya di daerah juga sering melibatkan para
Bissu.
|
Angkuru Hj. Jannah dalam sebuah acara Mappadendang (dok.pribadi) |
Belakangan ini, jasa
Bissu makin dibutuhkan dalam acara pernikahan. Beberapa pejabat yang menikahkan putra-putri mereka, melibatkan peran
Bissu. Testimoni dari tokoh besar beragam, namun semuanya positif. Tentu hal ini membanggakan para
Bissu, terutama sang
Angkuru.
Tidak disebutkan berapa nilai jasa yang ditetapkan
Bissu saat tampil. Terkadang besar maupun kecil, tergantung kemampuan yang dibayarkan oleh pengguna jasa. Biasanya ia diberi uang jasa setelah selesai penampilan. Akan tetapi ada juga yang sampai sekarang masih ngutang.
Diperhatikan pemerintah dan tokoh adat, tidak berseberangan dengan pihak lain. Sudah cukup membahagiakan
Angkuru Hj. Jannah dalam memimpin
Bissu Pammana Wajo. Nampaknya sejauh ini, sang
Angkuru puas dengan apa yang ada. Tidak banyak harapannya. Salah satunya, agar timing yang diatur panitia saat tampil tidak bersamaan dengan waktu shalat.
Gender Bissu Pammana di Ruang Sosial
Pelras menulis : "Orang Bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka, di mana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menenutukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki laki maupun perempuan mempunyai peran sejajar (walaupun berbeda) dalam kehidupan sosial.
(12)
Di Sulawesi Selatan, khususnya orang Bugis. Perempuan ditempatkan pada posisi terhormat. Perempuan adalah Siriq (13) yang harus di jaga. Namun tidak berarti perempuan tidak mempunyai ruang sosial dan politik yang setara. Di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan di masa lalu, banyak Ratu yang memimpin. Bahkan tokoh pendiri kerajaan yang setengah mistis pun banyak yang perempuan.
Masih menurut Pelras, ia membagi 5 jenis gender di Sulawesi Selatan. Selain perempuan dan laki-laki, ada Calalai, Calabai dan Bissu. Calalai adalah perempuan yang berprilaku seperti laki-laki. Sebaliknya Calabai adalah laki laki yang berprilaku perempuan. Dari sini dapat dipahami bahwa Calabai berbeda dengan Bissu.
Dalam hal pengorganisiran, komunitas Bissu di Wajo dipimpin oleh Angkuru Hj. Jannah. Sedang untuk Calabai atau waria punya lembaga sendiri yang dipimpin oleh Hj, Agung. Sesekali kedua lembaga ini saling mengundang.
Ketika ditanyakan tentang bagaimana perlakuan masyarakat terhadap para
Bissu, Hj Jannah menjelaskan bahwa selama ini tidak ada pelecehan maupun perlakuan yang kurang menyenangkan. Dibandingkan dengan
Calabai atau Waria,
Bissu diperlakukan lebih terhormat
(14).
Sebagaimana
Bissu lainnya. Terkadang mereka memiliki pasangan sementara. Seorang laki laki yang mereka jaga dan pelihara. Di istilahkan dengan
To boto atau
ane piara. Seorang
Bissu yang memiliki
ane piara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan laki laki tersebut secara finansial. Hingga dinikahkan dengan perempuan. Ketika ditanyakan, bagaimana pendapat orang tua
ane piara tentang "hubungan" dengan
bissu. Sang
Angkuru menyebut, justru orang tua senang karena si anak tidak kemana-mana lagi.
===<><><><>===
Catatan
(1) Didefinisikan secara umum sebagai pendeta agama Bugis kuno.
(2) I Labulisa, salah satu tokoh antagonis dalam ILaligo. Dikenal sebagai seorang pelayan yang haus kuasa yang mencuri simbol kebesaran Batara Guru demi menjadi raja.
(3) ILagaligo. Epos terpanjang didunia. Berisi tentang kosongnya dunia tengah (Ale Kawa) kemudian diisi oleh keturunan dewa dewa dari dunia atas (Botinglangi) dan dunia bawah (Uri liu). Dilanjutkan dengan cucu manusia pertama (La Tongelangi Batara Guru) yaitu Sawerigading berjuang untuk mendapatkan cinta We Cudai serta keturunan terakhirnya.
(4) Sianre Bale = saling memangsa laksana ikan, siapa kuat dia menang. Sebuah istilah dalam naskah Lontara untuk menyebut periode antara akhir Ilagaligo dan awal kedatangan Tomanurung pembentuk kerajaan Bugis akhir. Sebuah kondisi kacau tanpa pemimpin yang kuat
(5) Parewa Saraq = pejabat syariat. Terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib, Bilal dan Doja. Berfungsi sebagai urusan keagamaan setelah kerajaan-kerajaan Bugis menerima Islam secara resmi sekitar awal abad ke-17
(6) Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017
(7) Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017
(8) Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017
(9) Secara harfiah berarti ibunya pengantin. Orang yang bertanggung jawab mengurus calon mempelai.
(10) Secara harfiah berarti pemimpin bidang tertentu. Pada konteks ini adalah pemimpin yang mengurusi bidang konsumsi pesta pernikahan.
(11) Secara harfiah berarti aturan adat istiadat. Pada konteks ini adalah ritual adat yang melibatkan peran Bissu seperti yang dipaparkan diatas.
(12) Manusia Bugis, karya Christian Pelras (185:2006)
(13) Siriq berarti malu, harga diri, kehormatan, motivasi.
(14)Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017