Berdasar ayat 1, pasal 32 UUD 1945 amandemen keempat disebutkan, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya". Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah melalui Mendagri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.
Sebuah acara adat di Sarasa, Kec.Pammana |
Sejak reformasi bergulir, banyak lembaga adat yang terbentuk. Niat awalnya tentu melestarikan budaya. Dari titik ini, penguatan budaya daerah tentu akan menguatkan budaya nasional. Sekaligus, meminimalisir efek negatif serapan budaya asing yang seolah tak terfilter lagi.
Ada jeda yang cukup lama, antara bubarnya kerajaan-kerajaan nusantara dengan terbentuknya lembaga adat. Hal ini menyebabkan, lembaga adat sulit menemukan bentuk idealnya. Beberapa penyebabnya antara lain :
1. Sengketa antar pewaris
Setelah bubarnya kerajaan, raja terakhir umumnya dijadikan bupati di nusantara. Sayangnya, tidak semua bekas kerajaan melantik putra makhota untuk memilih raja berikutnya. Setelah dua atau tiga generasi, terjadi sengketa waris antara sepupu sekali, paman - kemenakan, antar saudara/saudara tiri dan sebagainya.
2. Kurang/habisnya pusaka
Pusaka merupakan simbol kerajaan. Banyak pusaka yang terjual keluar negeri dimiliki kolektor. Entah karena kesulitan finansial atau persoalan lain sehingga pusaka terjual. Belum lagi perebutan pusaka kerajaan oleh ahli waris. Sehingga sulit menemukan bekas kerajaan yang pusakanya masih terjaga dan terawat.
Belum lagi bekas istana yang rusak, dijual, atau hancur. Sehingga walaupun ada pewaris untuk lembaga adat, namun tidak ada lokasi untuk menyelenggarakan amanah lembaga adat.
Di daerah di Indonesia bekas konflik/pemberontakan/perang antara 1950-1965 juga banyak pusaka yang hilang, dirampok, ditanam, dicuri atau dirusak.
3. Dilupakannya atau hilangnya aturan adat
Tiap kerajaan memiliki aturan adat yang detail. Setelah melebur ke RI, otomatis pelaksanaan aturan adat semakin berkurang hingga hampir tak dilakukan lagi oleh generasi sekarang. Saat lembaga adat terbentuk, banyak orang gagap mengatur keprotokuleran adat. Orang yang paham, telah meninggal beberapa atau belasan atau puluhan tahun silam. Sementara, tidak sempat diajarkan pada generasi berikut. Beberapa naskah yang mencatat aturan adat secara detail juga hilang, rusak, dicuri, terbakar dan berbagai persoalan sehingga sulit diakses bila masih ada.
4. Masuknya kepentingan politik praktis dalam ranah pelestarian budaya
Sejak dilaksanakannya pemilukada, banyak tokoh adat yang turut berperan. Di sisi lain, sebagian politisi memanfaatkan kehadiran tokoh adat (dan lembaganya bila ada), sebagai tim sukses. Hal ini sangat merendahkan posisi lembaga adat yang tak lebih dari tim sukses belaka. Untung baik bila setelah sukses, lembaga adat tidak dilupakan.
Mungkin pada kesempatan ini kita urai hanya 4 (empat) dari sekian banyak persoalan sekaitan lembaga adat. Tetapi terlepas dari itu, kita tetap harus melihat lembaga adat dari sisi asas manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Beberapa organisasi perkumpulan lembaga adat (terkadang pecah), melakukan pertemuan secara berkala, macam festival keraton. Tentu anggaran besar, harga yang pantas untuk silaturahmi masyarakat adat nasional.
Quo Vadis Lembaga Adat ?
Bagaimana lembaga adat dapat terus eksis dan berperan dizaman reformasi dan zaman digital ini ? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, lembaga adat harus punya visi dan misi yang jelas terukur. Lembaga adat mestilah paham, era kekinian. Paham bagaimana media melakukan perubahan besar besaran terhadap pengetahuan dan karakter masyarakat. Paham bagaimana berperan dalam mengusung negara yang berkarakter.
Dan untuk itu, bukan berarti memberi gelar kebangsawanan pada orang berdasarkan jabatan strukturalnya namun tak berpartisipasi pada gerakan kebudayaan. Akan tetapi memberi apresiasi pada orang yang peduli pada budaya, pada para maestro seni, budaya, dan keahlian lokal.
Coba kita lihat, saat ini betapa banyak anak muda yang tertarik membincang budayanya. Lantas, apa peran lembaga adat untuk mengedukasi mereka ? Saat ini, banyak maestro seniman tradisional yang berusia sepuh yang tak lagi punya ruang ekspresi. Dimana peran lembaga adat untuk mengeksiskan mereka ? Saat ini, banyak seniman muda yang berusaha berkreasi berdasar ingatan budayanya, namun dimana peran lembaga adat untuk membantu mereka. Saat ini, banyak ahli pembuat rumah, ahli tempa besi, dan berbagai keahlian lokal yang terancam punah. Dimana peran lembaga adat untuk merevitalisasi mereka ?
Kerjasama dengan instansi terkait mesti dieratkan, dalam hal ini kementrian dan dinas yang terkait. Memang, persoalan mendasar selalunya keterbatasan anggaran. Nah pada titik ini mestinya pihak pengambil keputusan lebih kreatif memutuskan, kegiatan apa yang lebih penting untuk dilaksanakan. Bukan kegiatan apa yang lebih besar anggarannya, lalu memasukkan orang yang tidak berkompeten di kepanitiaan hanya karena jabatan strukturalnya belaka.
Hal paling penting adalah inventarisasi. Mulai dari pusaka yang tersisa, naskah, kearifan lokal, ritual adat, seni tradisi, pelaku seni, maestro, situs sejarah dan sebagainya. Lembaga adat mestilah memiliki data yang selengkap lengkapnya.
Lembaga adat mesti yang terdepan mendorong kurikulum muatan lokal sejarah dan budaya daerah bersangkutan. Sehingga ada proses edukasi untuk generasi muda.
Lembaga adat mesti terlibat dalam dengar pendapat, musrembang dan berbagai ruang partisipasi lainnya. Sehingga kehadirannya, dapat bermanfaat bagi pembangunan.
Lembaga adat mesti terlibat dalam dengar pendapat, musrembang dan berbagai ruang partisipasi lainnya. Sehingga kehadirannya, dapat bermanfaat bagi pembangunan.
Lembaga adat mestinya menjadi referensi utama bagi peneliti, baik lokal maupun dari luar negeri untuk menjadi informan.
Manusia, dilahirkan didunia dalam keadaan tanpa apa apa dan tak memilih orang tuanya. Sehingga orang orang yang "Beruntung" dilahirkan dari trah penguasa masa silam, mestinya menjadikan dirinya sebagai "adat yang berjalan". Penghormatan masyarakat pada mereka yang beruntung itu, mesti dibalas dengan keberpihakan pada masyarakat dalam memperjuangkan hak haknya. Dibalas dalam bentuk menjadikan diri suri teladan yang baik tentang budaya.
1 komentar so far
numpang baca bang...mantap...
http://www.avatarzaharuddin.top/2015/12/manusia-dalam-perspektif-al-quran.html
EmoticonEmoticon