La Marufe telah dewasa, saatnya ia berlayar mengarungi samudra. Merantau membuktikan kedewasaannya. Maka mendakilah ia ke puncak Pattirosompe untuk meminta nasehat dari gurunya. Sebagai bekal untuk masa depannya.
Puang Nene, begitu La Marufe menyebut gurunya. Ia dekati lalu mencium tangannya tanda hormat seorang murid. Lalu dipersilahkan duduk.
La Marufe : Puang Nene, ajarkan aku tentang kebenaran, pintanya
Puang Nene : Nak, kebenaran ada dalam dirimu
La Marufe : Bagian yang mana pada diriku Puang, bukankah hanya kepala, tangan, kaki dan tubuh ?
Puang Nene : Cobalah pahami dirimu lebih dari yang engkau lihat nak
La Marufe : Mohon dijelaskan puang
Puang Nene : Nak, pernahkah kau berdusta, atau berbuat salah lainnya ?
La Marufe : (sedikit terbata-bata), pe pe pernah puang
Puang Nene : Saat kau berbuat salah, apakah ada dalam dirimu mengatakan bahwa kau salah ? Menegurmu dan mengingatkanmu agar tidak melakukan itu ?
La Marufe : Iya ada pernah puang
Puang Nene : Nah itu dia nak. Belajarlah untuk selalu mendengar suara itu. Suara yang selalu menunjukkanmu pada kebenaran. Ia ada dalam dirimu. Ia tidak pernah berbohong padamu.
La Marufe : Apakah itu disebut hati, sanubari, instink atau apa puang ?
Puang Nene : Nak, mengapa engkau lebih mementingkan persoalan semantik ketimbang makna ? Terserah orang mau menamai apa, yang jelas, engkau tahu suara dalam dirimu itu nak.
La Marufe : Iya terimakasih. Tetapi guru, kadang aku mendengarnya begitu jelas, kadang sayup sayup. Bagaimana dengan hal itu guru ?
Puang Nene : Saat engkau mendengarnya begitu jelas, sebelumnya engkau selalu berkata, berbuat dan bertindak benar. Sehingga kebenaran begitu nyata mengingatkanmu pada kebenaran. Saat engkau nafikan kebenaran, maka pada saat itu suara itu menjadi sayup sayup. Semakin sering engkau berdusta, maka itu akan menutupi dirimu. Bagai tabir yang menutupmu pada kebenaran.
La Marufe : Jadi bagaimana baiknya puang, guru ?
Puang Nene : Biasakan berkata benar anakku. Biasakan berbuat benar anakku. Biarkan kebenaran itu sendiri yang datang menjelaskan dirinya.
La Marufe : Terimakasih puang. Tambahkanlah lagi pelajaran padaku tentang kebenaran guru
Puang Nene : Nak, ketahuilah hanya satu manusia. Yang banyak hanya ragamnya.
La Marufe : Jelaskan padaku puang.
Puang Nene : Nak pemahamanmu kelak akan berkembang seiring usia, usaha dan pengalamanmu. Aku hanya menjelaskan garis besarnya saja nak.
La Marufe : Iya guru, dengan senang hati
Puang Nene : Nak, kebenaran dalam dirimu ada juga pada orang lain. Setiap manusia memiliki itu. Itulah sebenarnya manusia. Manusia adalah yang bertindak benar.
La Marufe : Jelaskan maksudnya puang
Puang Nene : Kalau seseorang merampas hak orang lain, maka sebenarnya ia abaikan kebenaran pada dirinya. Ia telah berperilaku binatang buas anakku. Jika ia terus ulang menjadi tabiatnya, maka pada dasarnya ia kehilangann kemanusiaannya dan telah menjadi binatang buas anakku.
La Marufe : (Berpikir sejenak). Jadi manusia yang sebenar benarnya manusia adalah yang selalu berlaku dan bertindak benar ya puang ?
La Marufe : Puang, banyak orang mengaku benar. Bagaimana cara aku menilai kebenaran.
Puang Nene : Anakku, meski nyata bersalah, seseorang masih saja merasa benar. Walau terkadang memutar balikkan fakta. Ini tindakan yang menutup mati hati anakku. Serendah-rendahnya perbuatan benar setelah berbuat salah adalah mengakui kesalahan. Bukankah mengakui kesalahan adalah sebuah kebenaran bagi orang yang salah anakku ?
La Marufe : (menyimak)
Puang Nene : Kelak, bila engkau khilaf, sehingga berbuat salah. Setidaknya engkau jujur pada dirimu. Jujur bahwa engkau salah. Itulah dasar untuk memperbaiki kesalahan sebagai tindak lanjutnya.
La Marufe : (Mengangguk) Mohon puang nene sudi melanjutkan
Puang Nene : Anakku, seseorang menjadi benar bukan karena memutar balikkan fakta. Seseorang tidak menjadi benar hanya karena menuduh yang lain salah.
La Marufe : Toncona eh contohnya guru ? (sambil tersenyum)
Puang Nene : Jika engkau tuduh orang lain mencuri, apakah orang itu lantas menjadi pencuri dan dirimu bukan pencuri ?
La Marufe : Belum tentu guru. Bisa jadi aku menfitnah orang lain, entah itu sengaja atau tidak sengaja. Bisa jadi pula, aku menuduh orang lain pencuri untuk menutupi hasil curianku. Biar orang lain yang digeledah.
Puang Nene : Benar anakku. Kita tidak menjadi benar hanya karena menyalahkan orang lain. Anakku, Permata tetap permata meski ia dilumpur. Kotoran tetap kotoran meski ia disinggasana.
La Marufe : Puang, di rantau nanti, kemana aku berguru
Puang Nene : Bergurulah dan terus berguru. Tambah pengetahuanmu hingga ajal menjemputmu anakku. Kelak di rantau, jika engkau ingin berguru, carilah orang yang memiliki kebenaran.
La Marufe : Yang mana itu guru
Puang Nene : Nak, lihat bagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Itu indikator pertamamu. Biar ngomongnya secanggih apapun, biar merangkai firman Tuhan sepandai apapun, namun ia tidak menghargai sesamanya manusia, maka ia tidak layak menjadi gurumu. Orang seperti itu pandai memelintir firman suciNya untuk kepentingan diri dan kelompoknya anakku.
La Marufe : Iya terimakasih ilmunya puang, mohon dilanjutkan guru
Puang Nene : Anakku carilah orang yang berdiri diatas kebenaran. Kebenaran perkataannya. Kebenaran perbuatannya. Dan manfaatnya bagi orang sekelilingnya. Jangan cari orang yang hanya pandai menyalahkan orang lain. Sebab itu tidak membuatnya menjadi orang benar. Anakku, carilah orang yang disaat ia tiada, ia senantiasa dikenang. Bukan hanya kelompoknya, tetapi kelompok yang lain. Jika ia hanya dicari oleh orang orang dikelompoknya, maka cahaya kebenarannya hanya terbatas pada kelompoknya saja. Itu indikator keduamu anakku.
La Marufe : (Menyimak)
Puang Nene : Anakku, kita ini terus menyempurnakan kebenaran kebenaran dalam diri kita. Begitupun orang lain. Bisa jadi kebenaran keluar dari mulut seorang pendosa. Sebaliknya, bisa jadi kesalahan keluar dari mulut orang yang saleh. Maka, ada kondisi engkau memetik kebenaran bukan karena siapa yang mengatakan, tapi apa yang ia katakan.
La Marufe : Maksudnya guru ?
Puang Nene : Jangan engkau menganggap remeh seorang pendosa. Bisa jadi ia menyadari kesalahannya, sehingga pintu kebenaran terbuka. Jangan pula engkau menganggap suci orang saleh. Bisa jadi ia takabur dengan ibadahnya sehingga pintu kebenarannya tertutup. Meski demikian, ini bukan alasan bagimu dan bagi semua orang untuk menjadi pendosa. Biar bagaimanapun, engkau harus berusaha menjadi orang saleh. Orang yang efek ibadahnya dirasakan berupa tersebarnya kebaikan bagi sesamanya.
La Marufe : Ajarkan aku lagi guru
Puang Nene : Anakku, aku bangga dengan semangat belajarmu. Namun engkau terkadang harus mengendalikannya, dan menyesuaikan dengan kemampuan jiwamu. Cukup itu saja yang ku ajarkan tentang kebenaran, semoga kelak engkau menemukan lebih banyak lagi kebenaran dari perjalanan hidupmu. Setidaknya, engkau sudah punya pegangan untuk hidup dizaman yang penuh fitnah ini.
La Marufe : (Tertunduk)
Puang Nene : Angkat wajahmu anakku, hadapi kerasnya kehidupan dengan semangat dan doa.Ingat, benar beda dengan betul. Sebab benar adalah syarat kebenaran sedang betul adalah syarat kebetulan.
La Marufe : Tetapi kan kebetulan aku yang jadi murid dan puang nene yang jadi guru ?
Puang Nene : Anakku, janganlah melepas kuasa Sang Maha Benar yang telah menetapkan kebenaran dengan memahami adanya kebetulan anakku. Bahkan orang yang membaca tulisan ini dari awal sampai dibagian ini bukanlah kebetulan anakku.
La Marufe : Terimakasih ilmunya guru. Izinkan aku mencium tanganmu, memohon restu dan doamu. Agar hidupku tetap dalam kebenaran guru
Puang Nene : Engkau mencium tanganku, bukan berarti aku lebih baik daripada engkau anakku. Itu hanya menunjukkan akhlakmu. Pergilah arungi samudra kehidupan. Semoga engkau tetap pada kebenaran dan tergolong orang orang yang selamat anakku.
1 komentar so far
Bermanfaat sekali
EmoticonEmoticon