PEREMPUAN
PERSPEKTIF BUGIS*
OLEH : A.
RAHMAT MUNAWAR **
Pendahuluan
Setiap komunitas, suku, budaya, sebagai sistem sosial
memiliki pandangannya masing-masing tentang perempuan. Tak terkecuali orang
Bugis, pun punya perspektif tersendiri dalam memandang perempuan.
Untuk menggali perspektif tentang perempuan pada
suatu budaya, dapat dilihat dari berbagai hal misalnya relasi kekerabatannya,
konsepsi gendernya, dan tentu peran sosial sebagai wujud aplikasi dari konsepsi
gendernya.
Posisi Perempuan dalam Mitos
Bagi orang
Bugis zaman dulu (dan sebagian sekarang), I Lagaligo bukan sekedar karya
sastra, namun bahkan dianggap sebagai kitab suci. Zaman sekarang, I Lagaligo
adalah karya sastra terbesar dunia, mengalahkan epos lain seperti
Mahabaratayuda dan Illyad and oddesus.
Epos Ilagaligo secara singkat, menggambarkan diisinya
dunia tengah. Dimana dunia atas mengirimkan putra mahkotanya dan dunia bawah
mengirimkan putrinya. Cucu mereka, Sawerigading digambarkan sebagai seorang
pemuda yang kasmaran pada saudara kembarnya, yaitu We Tenriabeng. Namun karena
itu adalah insest yang harus dihindari, maka We Tenriabeng menganjurkan
kakaknya agar menikahi sepupu mereka yaitu We Cudai.
Tidaklah mudah bagi Sawerigading untuk mendapatkan We
Cudai Datu Cina, putri Datu Cina sebelumnya yaitu La Sattumpugi. Ia harus
membuat perahu, berlayar, bertarung dengan para kompetitornya di laut. Hingga
berperang melawan We Cudai sampai lamarannya diterima.
Saudara kandung ayah Sawerigading (Tante), yaitu
Sangiang Serri dikisahkan meninggal saat masih kecil. Dan dipusaranya tumbuhlah
tanaman padi. Padi dianggap jelmaan Sangiang Serri. Di kisahkan bahwa, Sangiang
Serri bersama tumbuhan lain, enggan singgah dan menetap dirumah atau kampung
dimana suami istri sering bertengkar. Hingga saat ini masih ada sebagian orang
Bugis yang di rakkeyang rumahnya ada
persembahan pada Sangiang Serri dengan harapan panen mereka selalu berhasil.
Dari dua contoh diatas kita dapat pahami bahwa, We
Cudai sebagai seorang Ratu yang cantik namun tegas. Untuk mendapatkan cintanya,
perlu perjuangan seorang Sawerigading dalam melintasi lautan dan bertarung
melawan bajak laut.
Sementara padi yang dianggap jelmaan sangiang seri
menunjukkan simbol kehidupan. Untuk kehidupan yang berkesinambungan,
membutuhkan kehadiran perempuan. Selain itu juga digambarkan pentingnya
menghindari pernikahan sedarah (insest).
Posisi Perempuan dalam Pernikahan
Dari semua ritual adat bagi orang Bugis, pernikahan
adalah ritual yang paling rumit dan panjang. Hal ini tentu tidak lepas dari
konsep pentingnya penjagaan kehormatan (siri) pada perempuan dan pembentukan
generasi masa depan.
Dalam bahasa Bugis, Pernikahan disebut dengan istilah
Siala yang berarti saling mengambil, atau saling
memiliki. Secara teks menunjukkan bahwa
pernikahan bagi orang Bugis bukan semata-mata kepemilikan suami pada istrinya,
tapi juga kepemilikan istri pada suaminya. Dan ini menunjukkan hubungan
kesetaraan antara istri dan suaminya.
Pada pernikahan, pihak keluarga laki-laki biasanya
memulai dengan Mammanu’-manu’ yang
secara harfiah berarti mencari informasi awal tentang peluang pihak laki-laki.
Jika pihak keluarga perempuan memberi sinyal positif, maka dilanjutkan dengan
pelamaran atau Madduta. Ini
menunjukkan penghormatan pada perempuan, bahwa selayaknya laki-laki lah yang
menyampaikan maksudnya.
Setelah lamaran diterima, dilanjutkan dengan acara Mappasierekeng. Pada kesempatan itu,
dibahas teknis resepsi pernikahan seperti warna dan jenis pakaian pengantin,
besaran mahar dan biaya lain, waktu dan tempat resepsi, dan sebagainya. Mahar dalam bahasa Bugis disebut Sompa, seperti kita ketahui Mahar
hukumnya Wajib dalam pernikahan. Hampir semua agama dan budaya mewajibkan
pemberian laki-laki pada perempuan pada pernikahan. Secara filosofis
menunjukkan penghormatan laki-laki pada perempuan melalui usahanya. Adapun Uang
Naik dan Belanja dui Menre & Balanca
adalah bagian dari pada budaya. Uang
naik, ini mulai ada dizaman dahulu ketika lelaki yang berderajat rendah ingin
menikahi perempuan yang lebih tinggi derajat kebangsawanannya. Sehingga lelaki
tersebut harus membayar denda dengan cara “membeli darah” atau Mangelli Dara. Pembelian “darah”
tersebut itulah yang dikatakan dui menre.
Dengan demikian, lelaki tersebut pantas duduk berdampingan dengan perempuan
bangsawan di pelaminan. Ini adalah budaya yang kurang baik terutama di era
kemerdekaan. Adapun uang Belanja atau Balanca
adalah bantuan material pihak laki-laki pada keluarga perempuan dalam membiayai
pesta pernikahannya.
Apabila
kesepakatan antara kedua pihak keluarga tercapai, maka dilanjutkan dengan acara
aqad nikah dan duduk pengantin. Pihak laki-laki datang kerumah mempelai
perempuan. Lalu membaca teks ijab-qabul
didepan saksi, Imam dan wali nikah. Sementara pengantin perempuan masih didalam
kamar. Ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki baru boleh menyentuh pasangannya
setelah resmi. Pada titik ini, sekali
lagi perempuan dimuliakan dan dihormati. Tanpa bermaksud merendahkan budaya
lain, pembacaan ijab qabul biasanya pengantin laki-laki dan perempuan
berdampingan. Sementara dalam budaya Bugis, nanti setelah pembacaan ijab qabul
baru laki-laki bisa menyentuh (mappasikarawa)
dan duduk berdampingan dengan perempuan.
Pada prosesi Mappasikarawa,
keluarga yang dituakan dari pihak laki-laki membimbing pengantin laki-laki
menuju kamar perempuan dan menyentuhkan tangan laki-laki pada perempuan sebagai
sensasi awal yang akan mereka kenang. Lalu, dipersilahkan duduk berdampingan,
dipasangkan sarung dan berlomba berdiri. Meski penulis kurang sepakat, namun
kita bisa melihat bahwa dalam perlombaan berdiri yang diyakini siapa yang
duluan akan dominan dalam keluarga tersebut, orang Bugis melihat bahwa suami
atau istri yang dominan dalam keluarga bukanlah soal. Artinya, sah-sah saja
seorang istri dominan dalam keluarganya, sama saja sahnya kalau suaminya
dominan. Ini menunjukkan kesetaraan gender dalam rumah tangga.
Setelah itu, sang mempelai perempuan dibimbing orang
tuanya ke tempat resepsi dan diikuti oleh mempelai laki-laki. Perempuan
berjalan lebih dulu dari pada laki-laki. Dan ini sudah terjadi sejak zaman
dahulu kala sebelum kita mengenal istilah Ladies
first. Sekali lagi ini menunjukkan penghormatan laki-laki pada perempuan.
Resepsi pernikahan diadakan untuk mensosialisasikan
bahwa pasangan tersebut telah sah. Dengan demikian, telah digugurkan prasangka
apabila diketemukan berjalan berdua sehingga tidak menjadi fitnah. Setelah
pesta usai, malam pertama selalu di rumah perempuan. Hal ini memberi kesan
bahwa, ada upaya pencegahan kekerasan seksual dalam rumah tangga, meski sang
istri telah sah.
Relasi Kekerabatan dan Konsepsi
Gender
Seperti yang
dikatakan tadi bahwa pernikahan disebut dengan istilah Siala yang memposisikan hubungan kesetaraan antara suami dan istri.
Dengan demikian melahirkan hubungan kekeluargaan yang bersifat bilateral.
Berbeda dengan arab yang patrianeal atau minang yang matrineal.
Di beberapa masyarakat Bugis, hari pertama
pernikahan, seorang suami harus bangun pagi-pagi berangkat mencari Foleang Mpunge’ atau penghasilan awal.
Biasanya suami pergi mencari kelapa dan gula merah (sebagai simbol kelezatan
dan manis dengan harapan pernikahan mereka seperti itu), sebagai bentuk
tanggung jawab suami. Ada keluarga Bugis
yang Cuma mengizinkan satu hari, ada tiga hari dan ada pula tujuh hari, dimana
suami boleh menginap dirumah istrinya setelah pernikahan. Setelah itu, suami
(secara tidak tertulis) diperintahkan untuk membawa istrinya kemana saja untuk
mencari penghidupan. Boleh jadi ia merantau, dan istri pun harus siap dibawa
kemana saja. Ini menunjukkan tanggung jawab seorang suami yang malu (Masiri) menggantungkan hidupnya kepada
mertuanya. Sekaligus menunjukkan kesetiaan dan ketangguhan seorang istri yang
siap menemani suaminya dalam menjalani kehidupan.
Dalam pewarisan, orang Bugis mengenal prinsip Orowane Mallempa, Makkunrai Majjujung
yang berarti Lelaki yang memikul dan perempuan menjunjung. Memikul berarti dua
bagian dan Menjunjung berarti satu bagian. Ini sesuai dengan hukum Islam bahwa
lelaki mendapatkan dua bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian.
Di masa lalu, ketika membahas derajat kebangsawanan,
ada istilah Ambo’e Mappabati Indo’e
Mappanessa. Pewarisan status kebangsawanan di masa lalu ditentukan oleh
pihak ayah. Namun derajat kebangsawan yang dua jalur (ayah dan ibu) lebih tinggi
dibanding dari satu jalur (ayah saja) apalagi dari jalur ibunya saja.
Peran Sosial Perempuan di Masa
Lalu dan Sekarang
Seperti dipaparkan sebelumnya tentang epos Ilagaligo,
bahwa dunia tengah ini diisi oleh “perutusan dunia atas” dari pihak laki-laki
dan “perutusan dunia bawah” dari pihak perempuan. Disebutkan bahwa We Cudai
adalah Datu Cina. Hal tersebut menggambarkan pada kita tentang “kebolehan”
perempuan menduduki posisi politik jauh sebelum isu emansipasi
digembar-gemborkan.
Setelah era I Lagaligo selesai, masuk di era
Tomanurung dan kemudian kerajaan modern. Dari era kerajaan modern ini kemudian
yang masuk di era kolonial (1906-1945) dan masuk di era NKRI. Di era Tomanurung
sebagai peletak dasar beberapa kerajaan Bugis, ternyata tidak semuanya
laki-laki. Misalnya disebut Manurungnge ri Matajang menikahi Manurungnge ri
Toro yang mendirikan Kerajaan Bone. Sementara La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili menikahi We Tenripuppu Manurungnge ri Gowarie mendirikan Kerajaan
Soppeng.
Banyak ratu-ratu Bugis yang berkuasa dizamannya. Di
Bone, tercatat enam orang Ratu yang pernah memerintah. Salah satunya, Batari
Toja Daeng Talaga menjabat Arumpone sebanyak dua kali, dicatatan lain disebut
empat kali. Ketika James Brooke, seorang pelancong Inggris atas perintah
Raffles datang ke Sulawesi. Ia berkesempatan mengunjungi Wajo. Ia mencatat bahwa
jabatan Arung Matowa bahkan terbuka untuk perempuan (meski dalam sejarah tidak
disebut Arung Matowa yang perempuan). Dari enam pejabat penting (maksudnya
arung ennengnge) empat diantaranya adalah perempuan.
Naskah Ilagaligo dapat disalin ulang berkat upaya
Colli’ PujiE Arung Pancana Toa, seorang Ratu sekaligus intelektual perempuan
dizamannya. Namun hidupnya berakhir dalam keterasingan akibat sikapnya yang
anti kolonial.
Seorang Ratu kerajaan Bone, Besse Kajuara, menolak
monopoli dagang VOC sehingga memerintahkan semua kapal dagang VOC yang berlabuh
dipelabuhan Pallime untuk membalikkan benderanya (biru-putih-merah) yang
menyebabkan peperangan antar kerajaan Bone dan VOC.
Opu Daeng Risaju, kerabat Datu Luwu, rela melepas
gelar kebangsawan dan hak-hak khususnya demi berjuang menegakkan kemerdekaan.
Namun beliau harus meninggal dalam keterasingan.
Di era
pergerakan kemerdekaan, Wajo melahirkan tokoh A. Ninnong Datu Tempe Ranreng
Tuwa. Beliaulah yang mendirikan laskar perjuangan kemerdekaan dan menyerahkan
kedaulatan kerajaan Wajo pada Gubernur Ratulangi di lapangan merdeka Sengkang.
Di
zaman sekarang, banyak perempuan pengusaha sukses, anggota parlemen, akademisi
dan pejabat birokrasi. Ini tidak terlepas dari sistem sosial yang berlaku
disatu sisi dan regulasi negara yang turut memperhatikan keterwakilan dan
pemberdayaan perempuan.
Kesimpulan
Dari
kilasan singkat sejarah sulawesi tersebut telah memberikan pandangan kepada
kita betapa orang Bugis disatu sisi sangat menghormati dan menjaga perempuan,
namun disisi lain memberikan ruang untuk menduduki posisi strategis. Sementara
sistem kekerabatan bilateral memberi kita petunjuk tentang kesetaraan relasi
gender manusia Bugis.
Dalam
rangka pemberdayaan perempuan, tentu perlu pembacaan yang cermat terhadap
konteks sosial budaya bersangkutan sebelum meretas (re)solusi pemberdayaan
perempuan. Kurang tepat jika kiranya asumsi “penindasan perempuan” pada budaya
tertentu dilekatkan pada budaya Bugis.
Perempuan
bugis khususnya di Wajo hari ini perlu ditingkatkan kesadarannya dalam
pendidikan agar SDM bisa turut meningkat. Adapun anggapan bahwa perempuan yang
bersekolah tidak boleh menikah, perlu ditinjau ulang dalam masyarakat kita.
DAFTAR
BACAAN
Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan – Sarita Pawiloy (1987)
Ensiklopedi Kebudayaan Luwu – Idwar
Anwar (2007)
I LA GALIGO – R.A. Kern (1993)
Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpalo
KarellaE – Nurhayati Rahman (2009)
LA GALIGO jilid II – Arung Pancana
Toa (2000)
Manusia Bugis – Christian Pelras
(2006)
* Disampaikan dalam Seminar Keperempuanan
dengan tema “Resolusi Pemberdayaan Perempuan di Bumi La Maddukkelleng” tanggal
21 April 2013 yang dilaksanakan oleh BEM STIA Puangrimaggalatung Sengkang.
** Peminat budaya bugis
2 komentar
tambah satu lagi pengetahuan tentang perempuan Bugis yang tak mau tinggal diam dengan banyak melakukan aktifitas ekonomi dengan banyak berkegiatan. maka pemberdayaan perempuan yang di gemborkan telah dilakukan sesungguhnya oleh para wanita Bugis ya bang
iya betul sekali saudara....teori feminis barat yang hendak dicangkokkan di indonesia, mestinya terlebih dahulu memahami kondisi sosial budaya masyarakat indonesia yang beragam
EmoticonEmoticon