Suatu ketika, seorang yunior mengirim pesan lewat inboks FB saya. Setelah berbasa basi ucapkan salam dan kabar, ia langsung menanyakan tentang strategi pemenangan pada pemilihan lembaga mahasiswa. Saya cuma menanyakan dua hal. Pertama, jika terpilih mau apa ? Kedua, jika tidak terpilih mau apa ? Tak ada lagi pesan saya terima setelah saya kirimkan pertanyaan itu. Padahal kedua pertanyaan saya itu adalah pertanyaan standar. Selalu saya tanyakan pada siapapun yang "ingin maju" sebagai ketua disebuah lembaga.
Mulai muncul beberapa pertanyaan dalam benak. Apakah anak sekarang cuma beraninya lewat inboks, bukannya datang baik baik untuk bertemu ? Apakah pertanyaan saya "terlalu kejam" sehingga melukai hatinya yang rapuh, lembek dan cengeng ? Serapuh itukah hatinya sehingga perasaannya lebih terasah ketimbang nalarnya yang bagiku terkesan buntu ?
Padahal masih ada pertanyaan yang lebih substansial yang mengantri dibenakku. Mengapa engkau merasa layak untuk menduduki jabatan tersebut ? Kapasitas apa yang engkau miliki ? Visi misi berlembagamu seperti apa ? Apa yang akan kau beri pada lembaga bila terpilih dan tidak terpilih ? Apakah kompetitormu adalah musuhmu yang harus dikalahkan dengan berbagai macam cara ? Apakah engkau memilih " kekalahan" daripada "kemenangan" yang diperoleh dari strategi yang licik ? Mampukah engkau menahan diri untuk tidak menggunakan strategi yang tidak etis ?
Yunior saya mungkin melihat saya sebagai orang yang menguasai strategi pemenangan sehingga berani menanyakan cara pemenangan. Sebenarnya, saya tidak menganggap itu penting dikuasai walaupun itu mudah. Bagi saya, pertanyaan pertanyaan substansial diatas harus dituntaskan dulu baru berbicara strategi pemenangan.
Yunior saya mungkin melihat saya sebagai orang yang menguasai strategi pemenangan sehingga berani menanyakan cara pemenangan. Sebenarnya, saya tidak menganggap itu penting dikuasai walaupun itu mudah. Bagi saya, pertanyaan pertanyaan substansial diatas harus dituntaskan dulu baru berbicara strategi pemenangan.
Efek samping demokrasi |
Memenangkan sebuah pemilihan, hanyalah selisih dari hasil usaha tim kawan dengan tim lawan ditambah/dikurangi faktor X.Intinya bahwa, bagaimana agar suara kita lebih banyak dengan cara apapun.
Sebenarnya mudah untuk memenangkan sebuah pemilihan. Yang sulit adalah, bagaimana membawa visi misi yang pas dengan kondisi lembaga, kapasitas calon ketua dan pengurus dan tentunya metode pemenangan yang elegan.
Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia yang lemah jiwanya, menganggap kompetitornya sebagai musuh. Bila menang, langsung mengabaikan kompetitornya. Bila kalah, selalu merasa dicurangi. Dan proses pemenangan dianggap "perang suci". Visi misi, pengembangan lembaga dan hal hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, tidak terlalu dianggap penting.
Bila seseorang berani mencalonkan diri menjadi ketua pada sebuah lembaga, patut diapresiasi. Memang lembaga butuh orang untuk menjalankan roda organisasi. Namun, jangan sampai kapasitas yang tidak mumpuni melampaui semangat untuk mengabdi pada lembaga. Jangan sampai juga, seolah olah memperjuangkan lembaga, namun memperjuangkan ego untuk berkuasa. Menjadi seorang pemimpin, tidak cukup hanya penguasaan strategi taktik. Tetapi juga kemapanan emosi dan kecerdasan nalar. Akan menyedihkan bila mahasiswa lebih memprioritaskan perebutan posisi pada lembaga ketimbang memperkuat fondasi intelektual dan emosionalnya.
Sekadar saran untuk adik adik mahasiswa, hendaknya memperkuat fondasinya dulu. Baik secara intelektual maupun emosional. Banyak banyaklah bergaul dengan berbagai karakter manusia. Agar lebih dewasa dan bijak dalam mengambil keputusan. Hal tersebut sangat dibutuhkan seorang pemimpin. Ambisi biasanya menjatuhkan orang. Apalagi bila ambisi berada pada orang yang tidak punya kapasitas. Bila berhasil, ia akan menghancurkan lembaga. Bila gagal, ia akan memecah belah lembaga. Buatlah dirimu berarti, baik sebagai ketua, pengurus lembaga atau bukan.
EmoticonEmoticon