(Bagian II)
Menuju Wajo
James Brooke menggambarkan kondisi geografis dan struktur pemerintahan di Wajo, berikut sistem pemerintahan serta konstitusinya. Ia menulis tentang posisi dalam struktur beserta wewenang masing masing. Demikian pula tentang masyarakat umum. James Brooke menulis profesi masyarakat yang bertani, menangkap ikan, serta menenun sarung. Tak lupa, strata sosial pun dicatatnya. Ia menulis tentang derajat tertinggi kebangsawanan (aru sangun= arung sengngeng) dan (rajin matassah = rajeng matase). Aru Sangun inilah yang menjadi raja (rajah). Derajat kedua adalah Rajeng. Disusul anak cerak (ana cherah). Adapun sekaitan budak, James Brooke menulis bahwa di negeri-negeri Bugis, budak umumnya adalah orang yang tak mampu membayar utang. Orang merdeka dapat menjadi budak bila tak mampu membayar utangnya, demikian pula keluarganya.
Tentang kehidupan keluarga, James Brooke menulis bahwa praktek poligami adalah hal umum. Bahkan tak jarang seorang lelaki beristri 2 yang berada pada rumah yang sama. James Brooke juga menyinggung tentang agama yang dianut. Tidak menggunakan istilah "Islam" tapi mahometan. Jabatan politik (kecuali arung matowa) terbuka untuk perempuan. Di tahun 1840, empat dari enam orang anggota Arung Ennengnge adalah perempuan. (saat itu hanya Arung Betteng dan Petta Cakkuridi yang laki laki, sementara Ranreng Talotenreng, Ranreng Tua, Petta Pilla dan Petta Patola dijabat oleh perempuan)
Tanggal 31 Januari 1840, James Brooke berkunjung ke rumah Arung Penrang. Orang-orang duduk bersila dengan kaki yang disilangkan. Ia dijamu dengan berbagai makanan. Nasi, daging kerbau, berbagai makanan berbumbu, telur, ikan dan sebagainya. Keesokannya (1 Februari 1840) ia diundang oleh young rajah pajumparuah (raja muda PajumperoE, kelak menjadi Arung Matoa). Mereka berdiskusi tentang suksesi Sidenreng sejak 1832, namun James Brooke menekankan bahwa ia tidak terikat dengan satu pemerintah apapun. Tanggal 2 Februari 1840, ia bertemu Datu Lompulle (Lapatongai) beserta rombongan. Ikut juga para Ponggawa. Ponggawa tidak masuk dalam struktur Arung PatappuloE namun memiliki hak veto dalam menentukan keikutsertaan dalam perang.
cek :
James Brooke menggambarkan penampilan orang Bugis kala itu. Para lelaki mengenakan pakaian yang indah mirip orang melayu. Celana dibawah lutut diatas mata kaki. Dengan balutan sarung dan hiasan keris. Tidak lupa cincin yang banyak menghiasi jari jari mereka. Sementara para perempuan mengenakan sarung hingga mata kaki. Kain muslin (baju bodo) yang hiasannya lebih sedikit. Rambut yang panjang
Orang Bugis digambarkan James Brooke sebagai orang yang berpikir simpel, cerdas, bahkan kadang licik namun tidak akut. Ia juga percaya bahwa orang Bugis itu pembual dan pengganggu terhebat dinusantara. Di saat yang sama juga ia percaya bahwa orang Bugis adalah yang paling berani dan ras paling energik. Menurutnya orang Bugis tak dapat dibandingkan dengan orang Eropa apapun. Ia menambahkan, khusus orang Inggris akan menyenangi karakter orang Wajo yang terbuka.
Keesokannya (3 Februari 1840) saat hujan deras turun. Ia melihat lelaki yang berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian lelaki dan mengikuti karakter pakaian tersebut. Pada dasarnya ia sedang melihat gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai). Di hari itu pula ia bertemu lagi dengan La Patongai Datu Lompulle (Lappa Tongi) yang bercerita tentang klaimnya tentang tahta Sidenreng.
Pasar Tosora dikunjungi James Brooke pada tanggal 4 Februari 1840. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Tempe. Arung Tempe saat itu adalah Permaisuri dari Datu Lompulle. Di pesisir sungai ia temukan banyak pohon asam (tamarind) dan pohon coklat (cocoa nut). Ia singgah di Tampurnung (Tampangeng) lalu Amsangan (Amessangeng) dan Singkong (Siengkang) lalu akhirnya mencapai Tempe. Ia menyebut air berhulu dari Lumpu Batang (Lompobattang) dan Latimojong. Tempe berpenduduk padat. Puncak Latimojong berdiri kokoh berpadu dengan keindahan danau. Esoknya ia dikunjungi Arun Ujongs (Talibe Ali Arung Ujung)
Acara pemakaman digambarkan mirip dengan Melayu. Para Imam/Bissu memanjatkan doa doa. Nisan disebut umumnya dari batu kasar. Sedang nisan para nakodah yang kaya terbuat dari kayu yang diukir elegan.
Beberapa hari kemudian, James Brooke ke Wage yang berada dibawah pemerintahan Ranreng Talotenreng. Ia mencatat sebanyak 250 rumah disana. Selain itu juga tercatat sebanyak 600 rumah di Sengkang, 500 rumah di Tempe, 75 rumah di EmpagaE, 100 rumah di Impa Impa, Pajalele 250 rumah, UjungE 120 rumah, Tancung 300 rumah, Bontouse 40 rumah, Nepo 40 rumah, Lowa 450 rumah. Untuk sekitar pesisir Danau Tappareng Karaja, James Brooke memperkirakan sekitar 2,055 rumah dan 30.825 jiwa.
Rumah Daeng Matara (yang ia temui di Singapura) di Bontouse dijadikan tempat tinggal sementara oleh James Brooke dan rombongannya. Lalu di Pajalele. Setelah sekian lama, James Brooke mengunjungi Wettareng dan Teteaji di Sidenreng lalu bertemu Lapanguriseng (Lappa Gnurisang). Setelah itu kembali ke Pajalele. Ia mencatat berbagai unggas sebagai hewan endemik di danau Tempe.
(bersambung)
Tanggal 31 Januari 1840, James Brooke berkunjung ke rumah Arung Penrang. Orang-orang duduk bersila dengan kaki yang disilangkan. Ia dijamu dengan berbagai makanan. Nasi, daging kerbau, berbagai makanan berbumbu, telur, ikan dan sebagainya. Keesokannya (1 Februari 1840) ia diundang oleh young rajah pajumparuah (raja muda PajumperoE, kelak menjadi Arung Matoa). Mereka berdiskusi tentang suksesi Sidenreng sejak 1832, namun James Brooke menekankan bahwa ia tidak terikat dengan satu pemerintah apapun. Tanggal 2 Februari 1840, ia bertemu Datu Lompulle (Lapatongai) beserta rombongan. Ikut juga para Ponggawa. Ponggawa tidak masuk dalam struktur Arung PatappuloE namun memiliki hak veto dalam menentukan keikutsertaan dalam perang.
cek :
James Brooke menggambarkan penampilan orang Bugis kala itu. Para lelaki mengenakan pakaian yang indah mirip orang melayu. Celana dibawah lutut diatas mata kaki. Dengan balutan sarung dan hiasan keris. Tidak lupa cincin yang banyak menghiasi jari jari mereka. Sementara para perempuan mengenakan sarung hingga mata kaki. Kain muslin (baju bodo) yang hiasannya lebih sedikit. Rambut yang panjang
Orang Bugis digambarkan James Brooke sebagai orang yang berpikir simpel, cerdas, bahkan kadang licik namun tidak akut. Ia juga percaya bahwa orang Bugis itu pembual dan pengganggu terhebat dinusantara. Di saat yang sama juga ia percaya bahwa orang Bugis adalah yang paling berani dan ras paling energik. Menurutnya orang Bugis tak dapat dibandingkan dengan orang Eropa apapun. Ia menambahkan, khusus orang Inggris akan menyenangi karakter orang Wajo yang terbuka.
Keesokannya (3 Februari 1840) saat hujan deras turun. Ia melihat lelaki yang berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian lelaki dan mengikuti karakter pakaian tersebut. Pada dasarnya ia sedang melihat gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai). Di hari itu pula ia bertemu lagi dengan La Patongai Datu Lompulle (Lappa Tongi) yang bercerita tentang klaimnya tentang tahta Sidenreng.
cek : Luwu di Masa Lalu
Acara pemakaman digambarkan mirip dengan Melayu. Para Imam/Bissu memanjatkan doa doa. Nisan disebut umumnya dari batu kasar. Sedang nisan para nakodah yang kaya terbuat dari kayu yang diukir elegan.
Beberapa hari kemudian, James Brooke ke Wage yang berada dibawah pemerintahan Ranreng Talotenreng. Ia mencatat sebanyak 250 rumah disana. Selain itu juga tercatat sebanyak 600 rumah di Sengkang, 500 rumah di Tempe, 75 rumah di EmpagaE, 100 rumah di Impa Impa, Pajalele 250 rumah, UjungE 120 rumah, Tancung 300 rumah, Bontouse 40 rumah, Nepo 40 rumah, Lowa 450 rumah. Untuk sekitar pesisir Danau Tappareng Karaja, James Brooke memperkirakan sekitar 2,055 rumah dan 30.825 jiwa.
Rumah Daeng Matara (yang ia temui di Singapura) di Bontouse dijadikan tempat tinggal sementara oleh James Brooke dan rombongannya. Lalu di Pajalele. Setelah sekian lama, James Brooke mengunjungi Wettareng dan Teteaji di Sidenreng lalu bertemu Lapanguriseng (Lappa Gnurisang). Setelah itu kembali ke Pajalele. Ia mencatat berbagai unggas sebagai hewan endemik di danau Tempe.
(bersambung)
EmoticonEmoticon