Proses Reproduksi Status Sosial Masyarakat Post-Tradisional di Sulawesi Selatan
Oleh : Rahmat Munawar
PENGANTAR
Status Sosial di Sulawesi Selatan, sangat tergantung pada posisi politik serta derajat kebangsawanannya. Namun seiring waktu, terutama sejak politik pasifikasi hingga masa orde baru terjadi perubahan kondisi politik. Sehingga proses reproduksi status sosial mengalami perubahan.
Perubahan struktural selama kurang lebih seratus tahun ini
menyebabkan berakhirnya era masyarakat tradisional secara formal. Perlahan tapi
pasti, langsung atau tidak langsung, merubah sistem sosial yang berlaku. Pada
gilirannya mempengaruhi (reproduksi) status sosial orang-orang tertentu.
Namun terlepas dari itu, tidak
mudah mendefinisikan masyarakat kita hari ini. Keliru mengatakan masyarakat
kita masih murni tradisional. Sebab saat ini masyarakat telah berada pada
sistem pemerintahan dan sosial yang modern, berikut penggunaan produk teknologi
maju. Kurang mengena pula jika mengatakan masyarakat kita sudah modern, sebab
masih ada praktek-praktek yang bernuansa tradisional, termasuk diantaranya
ritual-ritual adat maupun status sosial yang terwujud dalam bentuk simbolik.
Pada kesempatan ini, penulis menggunakan istilah “Post-Tradisional” untuk
menyederhanakan tipikal masyarakat kita hari ini.
PROSES
REPRODUKSI STATUS SOSIAL
Secara tradisional masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya orang
Bugis mengenal sistem Patron-Klien (Jowa-Ajjoareng). Umumnya didasarkan pada relasi aristokrat dengan
anggota kliennya. Sistem ini memberi
ruang pada aristokrat untuk membarui status sosial keturunan mereka. Sebaliknya
juga memperkecil ruang pada klien untuk meningkatkan status sosial
keturunannya.
Pengaruh modernisasi menyebabkan praktek sistem Patron-Klien berlaku
terbatas. Di era demokrasi ini memberi ruang yang sama pada keturunan kaum
aristokrat dan klien untuk berkompetisi membangun status sosial baru. Hal-hal
yang menjadi sarana terciptanya proses reproduksi status antara lain,
pendidikan, jabatan, dan prestasi ekonomi
Peningkatan kesejahteraan dapat mereproduksi status sosial |
Banyak kelompok aristokrat di
awal dan pertengahan abad ke-20 menginvestasikan masa depan anaknya melalui
pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari politik etis Belanda beberapa puluh
tahun sebelumnya, yang salah satu poinnya adalah pendidikan. Bagi pemerintah
kolonial, pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan tenaga kerja yang
memadai. Bagi pribumi (yang didominasi aristokrat), pendidikan menjadi sarana
untuk bisa berkarir dibidang pemerintahan, terutama pasca pasifikasi yang
membubarkan kerajaan.
Setelah kemerdekaan, pos birokrasi di era Orde Lama didominasi oleh
para aristokrat. Kita bisa melihat bupati-bupati pertama yang ada di Indonesia.
Hal senada dapat dilihat dijajaran birokrasinya. Terjadi proses reduplikasi
posisi politis pada generasi berikutnya. Hingga saat ini, jabatan birokrasi
mampu melekatkan status sosial baru pada orang yang bersangkutan.
Senada pendapat diatas, mengutip Bourdieu (dalam Harker dkk,ed 2009)
: “Kebudayaan kelompok dominanlah yang mengontrol sumber-sumber ekonomi,
sosial, politik yang diwujudkan di sekolah-sekolah, dan perwujudan ini bekerja
sebagai strategi reproduksi bagi kelompok dominan”.
Beberapa kasus kaum aristokrat yang tidak menempuh pendidikan dengan
baik, akhirnya tidak dapat mengisi pos birokrasi. Sehingga mereka mengandalkan
reproduksi status sosial pada diri dan keturunan pada ranah adat belaka.
Perlahan, seiring perubahan sistem sosial ekonomi, mereka mulai terpinggirkan
oleh penguasa dan pemilik modal.
Baik kaum aristokrat maupun kaum
kebanyakan, nampaknya belum sah prestasi ekonominya jika belum menunaikan
ibadah haji. Sehingga, terjadi reproduksi status sosial setelah melaksanakan
ibadah haji. Secara simbolik ditandai dengan penggunaan songkok haji, panggilan
puang haji, hingga pemosisian ditempat duduk terdepan pada resepsi pernikahan. Pada
acara pernikahan, selain sebagai ibadah
sosial, ia juga sarana untuk menunjukkan prestise sebuah keluarga. Melalui
parade kekuatan ekonomi politik yang menjadi bagian dari reproduksi status
sosial.
Besarnya mahar, uang naik dan uang
belanja menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga mempelai perempuan.
Demikian halnya bagi keluarga mempelai pria, meski harus susah payah
mengumpulkan uang untuk menyelesaikan urusan biaya pernikahannya, namun sangat
manjur membangun pencitraan pada status sosial yang baru.
Budaya Bugis sarat dengan simbol
status sosial. Warna baju pengantin, gelang yang digunakan dan berbagai atribut
lainnya menunjukkan status sosial si pemakai. Demikian juga perhiasan emas yang
menunjukkan prestasi ekonomi si pemakai. Pernikahan pun menjadi ajang untuk
“pengingatan kembali status sosial” atau “penunjukan status sebenarnya” atau
malah “reproduksi status sosial baru”.
Dicantumkannya “nama-nama
keramat” pada undangan sebagai orang yang turut mengundang, kemegahan pesta
pernikahan, hingga pemosisian tempat duduk diresepsi pernikahan menjadi simbol
status sosial tertentu.
KASUS PENCURIAN
NENEK
Meski berbau kriminal, namun fenomena seperti ini pernah terjadi di
masyarakat. Awalnya seorang perantau yang sukses. Namun referensi masyarakat
tentang dirinya adalah turunan kelas bawah. Nampaknya, modernisasi tidak
terlalu berhasil menghalau pemikiran feodal pada komunitas tersebut yang
mengistimewakan keturunan tertentu. “Perantau sukses” tersebut, meski memiliki
kekuatan ekonomi dan politik pada rantauannya namun masih menjadi kelas bawah
ditanah kelahirannya.
Dibuatlah silsilah baru.
Misalnya raja A punya 4 orang anak. Oleh pembuat silsilah, menyisipkan ayah
sang “perantau sukses” tersebut sebagai anak kelima. Terjadilah kasus pencurian nenek. Orang yang telah
meninggal, diklaim sebagai leluhur. Dengan demikian ia punya legitimasi untuk
melekatkan simbol baru, yakni simbol kebangsawanan. Muncullah istilah “Andi
Nappa Petta Toni” (=barusan andi,dapat gelar petta juga).
Hal ini akan menjadi masalah di
masyarakat ketika misalnya diadakan pengangkatan tokoh adat. Pewaris yang
berhak bisa jadi termarginalkan karena kelemahan dalam penguasaan ekonomi
politik. Sementara pseudo-pewaris ~karena kekuatan ekonomi politik dan silsilah
barunya~ bisa jadi mengambil posisi. Untuk konteks ini, lembaga adat dipandang
pada sisi reproduksi status sosial.
Kasus ini memberikan kita
pandangan bahwa ternyata untuk konteks tertentu, simbol kebangsawanan “masih
laku” dijual untuk meningkatkan status sosial seseorang. Apalagi jika kasusnya
adalah keturunan penguasa secara tradisional pada daerah tertentu. Pada
gilirannya status sosial dapat digunakan untuk menghegemoni dan mendominasi
masyarakat post-tradisional tersebut.
KESIMPULAN
Meski tidak sedahsyat seratus
tahun lalu, simbol sosial kebangsawanan tetap dipertahankan untuk mereproduksi
status sosial. Walaupun dalam prakteknya ada yang menyimpang dari hukum adat
itu sendiri dan sebagian ada yang tetap konsisten. Namun masih banyak orang
yang bangga dengan simbol aristokrasinya seperti bentuk rumah, gelar
kebangsawanan atau parade pernikahannya. Sementara hal tersebut sadar atau
tidak telah mereproduksi status sosial baru bagi orang yang bersangkutan.
Di era reformasi ini, baik
keturunan aristokrat maupun bukan, sama-sama mampu melakukan reproduksi status
sosial. Bisa jadi reproduksinya itu justru semakin menurun atau meningkat.
Namun faktor utama yang mampu meningkatkan prestise seseorang sehingga status
sosialnya juga meningkat adalah pendidikan, jabatan birokrasi dan prestasi
ekonomi.
Kebangsawanan tidak lagi menjadi
faktor utama dalam proses reproduksi status sosial. Tapi, untuk beberapa
konteks, ternyata kebangsawanan masih efektif dalam membangun citra diri.
Sehingga wajar jika ada bangsawan (tinggi) mampu melakukan reproduksi status
sosial. Tapi sebagian dari mereka justru termarginalkan karena tidak sempat
mendapat pendidikan yang layak. Atau bisa jadi karena tidak berkarir
dibirokrasi atau malah kurang sejahtera. Sementara ada masyarakat menengah
bawah yang mampu meningkatkan status sosialnya karena pendidikan yang layak dan
prestasi ekonomi. Seperti Puang Haji Baco yang dulunya cuma dipanggil La Baco.
1 komentar so far
ijin share,,,
EmoticonEmoticon