Sistem pemilu yang kita anut yaitu proporsional terbuka. Artinya, jumlah kursi yang tersedia berdasar proporsi jumlah penduduk pada dapil tersebut. Terbuka, berarti pemilih dapat langsung memilih caleg yang disenangi. Beda dengan sistem proporsional tertutup ala Orde Baru. Pemilih hanya mencoblos tanda partai, dan partai yang memilih calon yang akan duduk.
Pasca reformasi, banyak partai bermunculan. Amandemen pada UUD 1945 serta terbitnya berbagai regulasi sehubungan dengan pemilu. Akhirnya kita sampai pada sebuah sistem dimana popularitas menentukan elektabilitas. Yang berpeluang terpilih adalah yang terkenal.
Artis, yang populis (dan tentu cukup sejahtera membiayai tim pemenang) berlomba-lomba menjadi caleg. Partai pun berlomba-lomba merekrut caleg. Caleg yang kapabel tapi miskin dan kurang populis bertarung vis a vis melawan caleg yang populis dan pintar nyanyi.
Tentu kita bisa katakan, bahwa hak warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi caleg. Itu benar. Kita tidak bisa melarang hak azasi orang lain. Namun penting bagi siapapun yang menjadi caleg untuk mengetahui apa tugas dan wewenang anggota DPR dan DPRD apabila nantinya ia terpilih.
Fungsi Legislasi. Membuat regulasi sesuai tingkatan (DPR = Undang-Undang, DPRD = Perda). Seorang caleg minimal punya pengetahuan standar tentang hukum. Tentu ia tidak mesti master hukum. Tapi minimal ia memahami sistem hukum di Indonesia. Ia juga harus memahami bagaimana efek jika sebuah aturan diterapkan. Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan.
Fungsi Anggaran. Menyusun anggaran sesuai tingkatan (DPR = APBD, DPRD = APBD). Tentu ia harus paham sedikit tentang ekonomi, minimal neraca keuangan. Ia harus mampu menganalisa berapa persen seharusnya dana dianggarkan pada suatu bidang. Ia mesti paham tentang pendidikan, militer, perdagangan, investasi, dan seterusnya. Agar ia betul-betul dapat memperjuangkan apa yang mesti diperjuangkan secara proporsional
Fungsi Pengawasan. Mengawasi kinerja Eksekutif (mulai dari Presiden, Menteri, hingga Kepala Dinas tingkat kabupaten/kota). Dalam mengawasi, tentu ia harus tahu standar penilaian untuk mengukur kinerja eksekutif. Tentu ia juga harus paham tentang apa itu hak angket.
Saya tidak katakan artis itu kurang cerdas. Ada kok anggota DPR RI dari artis yang cerdas dan patut diacungi jempol. Cuma saya ingin katakan, artis yang nyaleg mesti sadar bahwa ia sedang berada pada kondisi "akan menjadi wakil rakyat" sehingga penting untuk memperhatikan beberapa hal antara lain.
- Up Grade Kapasitas dan Kapabilitas
Jangan cuma pintar akting sama nyanyi. Coba otaknya itu diasah biar lebih tajam. Kalau sudah sarjana itu mantap, apalagi magister. Asal kuliahnya yang bener. Ada kok artis yang kuliahnya serius, cerdas lagi. - Menahan nafsu belanja
Anggota DPR itu wakil rakyat, bukan shopaholic. Tugasnya mengabdi pada bangsa dan negara, bukan pada hasrat belanja. - Menumbuhkan militansi dan kepekaan sosialIni penting, kalau mental krupuk terus mengaku mau memperjuangkan kesejahteraan rakyat, pasti dia bohong. Sebab memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya, mesti militan. Dan berasal dari kepekaan sosial yang tinggi. Ia mesti sering-sering bergaul sama orang miskin di daerah terpencil, bukan sama bos-bos di restoran.
Kepada caleg artis saya berpesan : Menjadi anggota DPR/DPRD tidak membutuhkan keahlian bernyanyi, menari dan akting. Tapi ketulusan, kecerdasan dan keberanian dalam membela kepentingan rakyat
EmoticonEmoticon