Pernikahan dalam bahasa Bugis adalah Siala. Adapun kata Botting maknanya merujuk pada pengantin. Misalnya pada kata 1)Tudang Botting = Duduk pengantin/Resepsi pernikahan, 2)Bottingnge = Sang Pengantin, 3)Botting MparuE = Pengantin Baru. Tapi pada kalimat : "Niga Mappabbotting?" maknanya justru, "Siapa yang punya acara pernikahan.
Kata Siala secara harfiah berarti "saling mengambil". Ini berarti, lembaga pernikahan bagi orang Bugis berarti kedua belah pihak (baik perempuan maupun lelaki) ini saling mengambil, dan saling memiliki. Bukan hanya lelaki yang memiliki perempuan, tapi keduanya. Perempuan pun memiliki lelaki. Dari teks Siala tersebut menunjukkan pada kita relasi kesetaraan antara pihak perempuan dan laki-laki.
Dapat kita mengerti, pada sistem kekerabatan bilateral yang dianut oleh orang Bugis, keluarga baik dari pihak ibu dan ayah akan dituliskan di silsilah. Sehingga silsilah orang Bugis akan sangat lebar karena memuat leluhur dari dua kakek (ayahnya ayah dan ayahnya ibu) dan dua nenek (ibunya ayah dan ibunya ibu). Sehingga jejaring keluarga menjadi sangat luas. Pada gilirannya nanti akan mempengaruhi relasi sosial masyarakat Bugis
Pada proses awal pernikahan seperti 1)Mammanu'-manu' dan 2)Madduta, merupakan inisiasi dari pihak lelaki. Bisa dibayangkan beratnya beban perempuan jika perempuan yang melamar laki-laki. Konsepsi ini tidak terlepas dari kualitas maskulin yang memberi, berinisiatif dan kualitas feminim yang menerima dan menunggu. Demikian pula pada saat pemberian 1)Mahar/Sompa, 2)Uang Naik/Dui menre' dan 3)Belanja/Dui Balanca. Jika pihak perempuan yang memberi Sompa, Dui Menre dan Dui Balanca, maka tentu pihak keluarga perempuan akan sangat terbebani.
Ketika hari Tudang Botting telah ditetapkan, maka kedua calon mempelai telah memasuki masa pingit yang disebut Arafo-rafong. Kedua calon mempelai sedapat mungkin tidak meninggalkan rumah, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan sehingga acara Tudang Botting batal. "Masa Tenang" Arafo-rafong setelah "Kampanye Pelamaran", digunakan untuk transformasi pengetahuan dari orang tua ke kedua calon mempelai. Mulai dari bagaimana mengelola rumah tangga, hingga persoalan Assikalaibineng.
Setelah itu akan dilanjutkan dengan Manre Lebbe'/Manre Temme' yaitu ritual pengijazahan tanda tamat Al-Qur'an. Kadang, acara Manre Lebbe' dilakukan saat tamat mengaji waktu kecil. Bagi yang tidak sempat Manre Lebbe' setelah tamat mengaji, akan dilakukan menjelang pernikahannya. Hal ini menyimbolkan bahwa seorang calon pengantin haruslah tamat Al-Qur'an dulu baru bisa menikah. Sebab seorang calon suami yang kelak menjadi imam, tentu harus paham masalah standar agama. Misalnya tata cara shalat dan bacaannya agar dapat membimbing istrinya.
Acara Manre Lebbe (Khatam Al-Qur'an) |
Sebelum Tudang Botting, dilakukan pembacaan Ijab-Qabul. Pengantin laki-laki belum boleh melihat apalagi menyentuh pasangan sebelumnya. Ia akan berhadapan dengan Imam atau Wali Nikah perempuan beserta saksi. Setelah pengucapan lafaz Ijab-Qabulnya dianggap sah, maka baru boleh masuk ke dalam kamar pengantin yang didalamnya pengantin perempuan duduk tersipu menunggu suaminya. Ini menyimbolkan adanya "hijab" yang harus ditembus oleh pihak calon suami sebagai penghormatan dan pemuliaan pada perempuan/istri.
Prosesi Mappasikarawa merupakan penciptaan kesan pertama melalui sentuhan pertamanya. Sehingga dalam ritual pernikahan, sentuhan pertama dibarengi niat sesuai titik tubuh istri yang disentuh suami. Beberapa titik yang disentuh itu misalnya nadi dilengan kiri (dengan niat agar selalu dekat sebagaimana nadi), leher (dengan niat agar kehidupan rumah tangganya nikmat senikmat makanan yang masuk lewat leher), buah dada (maaf) dengan niat agar Sienrekeng Dalle. Yaitu keduanya dilimpahi rezki yang "besar".
Orang tua pihak mempelai perempuan akan mendudukkan suami istri tersebut lalu melingkarkan sarung dan dijahit. Memberi makna bahwa keduanya sudah sah untuk "satu sarung". Dalam literatur Bugis, tidur satu sarung antara suami dan istri adalah "romantisme" tersendiri. Lalu keduanya akan berlomba berdiri. Secara pribadi saya kurang setuju, namun terlepas dari acara perlombaan berdiri, memberi kita kesan bahwa dalam rumah tangga orang Bugis, sah-sah saja jika istri yang dominan. Sama sahnya kalau suami yang dominan. Tergantung dari kesan pertama mereka waktu menikah, siapa yang menang dalam perlombaan berdiri.
Tudang Botting |
Jika memungkinkan, setelah Tudang Botting suami akan membawa istrinya kerumahnya dalam prosesi Marola. Ini menunjukkan keabsahan suami membawa istrinya sebagai pasangan sah. Sekaligus perkenalan awal sang istri pada keluarga sang suami. Namun setelahnya, suami mengembalikan istri dirumahnya untuk menjalani malam pertamanya.
Malam pertama, haruslah dijalani di rumah istri. Dengan harapan untuk mengurangi kemungkinan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Tentu kita dapat membayangkan jika hasrat lelaki menggebu-gebu terhadap istrinya yang sudah sah, tapi bersebelahan kamar dengan mertua. Suami mestilah bijak dan menghormati hak istrinya agar melakukan hal tersebut dengan sukarela, tanpa paksaan. Tak jarang pasangan suami istri baru melakukan hal tersebut nanti setelah malam kesekian. Sebab suami segan untuk memaksa istrinya.
Di subuh hari, sang suami harus keluar rumah. Mencari penghasilan pertama yaitu Foleang mpuge'. Sebagai simbol tanggung jawab suami pada istri. Penghasilan pertama ini bukan berupa uang atau emas, namun biasanya kelapa dan gula merah sebagai simbol harapan suami untuk membina rumah tangga yang manis layaknya gula merah dan lezat layaknya kelapa.
baca pula tentang Pernikahan Bugis di sini
Assikalaibineng bagian I di sini
Assikalaibineng bagian II di sini
EmoticonEmoticon