GAGAP
DEMOKRASI MASYARAKAT POST-TRADISIONAL
Pengantar
Perkembangan masyarakat Indonesia khususnya orang
Bugis di Sulawesi Selatan berjalan sedemikian rupa. Sejarah menempa dengan
berbagai peristiwa, baik dari dalam maupun dari luar. Nampaknya faktor tradisionalitas
dan mistis tidak benar-benar terhapus oleh modernisasi. Selain itu, faktor
perkembangan teknologi informasi sejak beberapa dekade lalu membentuk wajah
masyarakat kita hari ini yang beraneka rupa. Sehingga, kita bisa temukan faktor
mistisme atau aroma feodal di ranah
paling ilmiah sekalipun yakni perguruan tinggi. Sebaliknya, kita juga bisa
temukan masyarakat di desa yang gemar main Facebook.
Budaya Bugis, sebagaimana sebagian besar tradisi di Nusantara, ditantang oleh kondisi zaman yang cepat berubah. Sehingga terjadi proses “seleksi alam” terhadap nilai dan simbol tradisi. Ada nilai maupun simbol tradisi yang bertahan, ada pula yang berubah. Juga ada yang hilang sama sekali tergerus arus modernisasi.
Budaya Bugis, sebagaimana sebagian besar tradisi di Nusantara, ditantang oleh kondisi zaman yang cepat berubah. Sehingga terjadi proses “seleksi alam” terhadap nilai dan simbol tradisi. Ada nilai maupun simbol tradisi yang bertahan, ada pula yang berubah. Juga ada yang hilang sama sekali tergerus arus modernisasi.
baca : Mental Inlander
Tentu tidak mudah mengklasifikasikan masyarakat kita
hari ini, karena kompleksitas sistem yang berada didalamnya. Penulis
menggunakan istilah “post-tradisional” untuk menyederhanakan ~yang mungkin
bias~ masyarakat kita hari ini. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
mendiskreditkan siapapun, atau daerah apapun. Tapi mencoba memaparkan hubungan
perubahan masyarakat tradisional menjadi post-tradisional dengan proses
demokratisasi yang berjalan. Adapun pembahasan demokrasi yang luas, dibatasi
pada perpemiluan.
Pergeseran Sistem Sosial
Biasanya masyarakat tradisional bertumpu pada sektor
agraris. Teknologi yang digunakan pun masih sederhana. Sehingga masyarakat
tradisional terkondisikan untuk menguatkan kolektivitasnya. Lahirlah tradisi
tudang sipulung, gotong-royong, kerjasama, ketulusan dan kebersamaan yang
kemudian menjadi nilai-nilai tradisinya.
Perkembangan teknologi menyebabkan peningkatan
produksi dan efesiensi. Namun disisi lain berefek pada kurangnya interaksi
antar anggota masyarakat pada pengelolaan pertanian. Akhirnya pelan tapi pasti semangat
kolektivitas menjadi pudar.
baca : Gotong Royong dan Demokrasi
Pada saat yang hampir bersamaan, runtuhnya rezim orde
baru yang manipulatif dan lahirnya reformasi memberikan ekspektasi besar bagi
masyarakat post-tradisional. Demokratisasi diintensifkan. Partai politik
menjadi lebih banyak. Kesadaran politik meningkat. Peluang mengisi posisi
eksekutif dan legislatif semakin terbuka dan tidak melulu menjadi milik
kelompok aristokrat. Kompetisi semakin kasat mata. Kemudian melahirkan eforia
pada penyelenggaraan pesta demokrasi, yaitu pemilu/pemilukada.
Sistem pemilihan langsung, membuat para calon
berusaha untuk meningkatkan elektabilitasnya dimata masyarakat sebagai
konstituen. Berbagai pendekatan digunakan, mulai dari mengingatkan jasa baik
dimasa lalu, sentimen primordial, penggunaan jasa paranormal hingga politik
uang. Saat ini politik uang bukan lagi hal yang tabu dibicarakan di level grass
root. Meski sesungguhnya adalah pelanggaran, namun banyak masyarakat
post-tradisional termanjakan olehnya.
Banyaknya kasus pembakaran gedung atau kantor, telah
menunjukkan kepada kita betapa masyarakat kita yang (dulunya) peramah tiba-tiba
menjadi pemarah. Demikian pula aksi damai yang kerap berujung anarkis.
Sementara politik uang mengindikasikan bahwa ketulusan telah digantikan
pragmatisme. Kolektivitas berubah menjadi individualisme. Hal tersebut menjadi
ciri masyarakat post-tradisional.
Walaupun pos-pos eksekutif dan legislatif tidak lagi
dominasi kelompok aristokrat, tapi dibeberapa daerah yang kental tradisinya,
simbol aristokrasi tetap manjur untuk mendulang suara. Sehingga, “faktor
silsilah” menjadi “indikator tak terbahasakan” sebagai persyaratan untuk
terpilih. Sistem pemerintahan modern yang mengacu pada prinsip manajemen,
ternyata berlaku parsial saja didaerah tertentu. Kisah mutasi pejabat atau PNS
yang mendukung kandidat yang kalah, menjadi kisah sendu proses demokratisasi
yang bias dimasyarakat post-tradisional.
baca : 4 Faktor Kemunduran Bangsa
Belum lagi rusaknya tatanan sosial pasca pemilu.
Sebut misalnya, banyaknya tali kekerabatan dan silaturahmi yang putus hanya
karena berbeda pilihan ketika pemilu. Atau tergusurnya ketulusan ~sebagai ciri
masyarakat tradisional~ oleh keangkuhan pragmatisme.
Fenomena yang tak jarang kita temukan pada pemilu
adalah politik uang. Politik uang terjadi bukan karena satu penyebab, akan
tetapi akumulasi dari persoalan sosial yang kompleks. Masalah ekonomi menjadi
faktor pertama. Mendapatkan “dana segar” menjelang pemungutan suara adalah
“rezeki musiman” bagi masyarakat post-tradisional. Sehingga banyak orang lupa
istilah “rezki halal yang berkah”. Masalah kebijakan adalah faktor kedua.
Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat melahirkan ketidakpercayaan. Sehingga
muncul pendapat “siapapun yang terpilih,
kita tetap miskin”. Sepertinya, masyarakat post-tradisional lelah
mendengarkan janji-janji dan mulai apatis terhadap proses demokratisasi. Faktor
ketiga adalah rendahnya komunikasi calon terpilih dan konstituen pasca pemilu.
Konstituen jarang dikunjungi ~bagi masyarakat post-tradisional kunjungan
pejabat publik atau tokoh politik adalah kebanggaan tersendiri~ semakin
memperteguh sikap apatisnya dan ketidakpercayaannya.
Kampanye,
merupakan ajang bagi kandidat untuk meningkatkan elektabilitasnya. Dengan
berbagai pendekatan yang digunakan ~seperti yang disebutkan sebelumnya~,
masyarakat post-tradisional menangkap hal ini sebagai “peluang bisnis”. Muncul
pernyataan “Kapan lagi diambil uangnya, kalau dudukmi nalupa meki”. Nampaknya,
terbangun kesadaran baru masyarakat post tradisional dalam menanggapi
demokrasi. Yaitu, pemerosotan makna pemilu. Dari pesta demokrasi, proses
pergantian pemimpin secara legal menjadi keuntungan sesaat.
Lain halnya dengan fenomena “Paggolla” yakni seseorang yang melumuri kandidat dengan sejumlah
kata-kata manis. Mulai dari memuji kandidat dengan harapan mendapatkan
kepercayaannya, hingga mengklaim memiliki massa yang banyak. Kepentingannya,
menguras dana kampanye kandidat sebanyak mungkin. Paggolla ini adalah tak ubahnya penipu yang menjadikan kandidat
sebagai korban.
Efek dari berbagai masalah diatas adalah sangat sulit
bagi calon untuk menghindari politik uang. Sebaliknya, masyarakat
post-tradisional semakin mengkristalkan “pentingnya bagi kandidat untuk
melakukan politik uang”. Terciptalah lingkaran setan politik uang yang seolah
tak ada habisnya.
Pada titik ini, demokrasi gagal memberikan solusi
atas berbagai persoalan kebangsaan. Sehingga menjadi tugas kita bersama memutus
rantai lingkaran setan tersebut. Solusinya, pertama, membuat kebijakan yang
berpihak pada rakyat dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam
pengambilan keputusan. Agar terbangun kembali kepercayaan terhadap calon
terpilih khususnya dan pemerintah umumnya. Kedua, langkah kongkrit peningkatan
kesejahteraan. Ketiga, mengikis metode transaksional dalam pemilu dengan
meningkatkan metode komunikasi dan kontrak sosial.
Dengan demikian, semua eksponen dapat mengawal proses
demokratisasi kearah yang lebih baik dan meminimalisir bias-bias yang mungkin
terjadi. Sehatnya demokrasi kita, tentu akan berdampak terhadap sehatnya sistem
sosial kita. Sehingga, kedepan kita bisa hidup sebagaimana cita-cita para
pendiri republik ini.
(arm : 1 Februari 2011)
1 komentar so far
politik jaman sekarang sudah menggunakan uang mas, jadi tidak sehat lagi. satu hal lagi partai juga semakin banyak, negara besar saja seperti amerika hanya 3 partai
mudah - mudahan bangsa kita tercinta ini mendapat pemimpin seperti Soekarno
EmoticonEmoticon