Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Namun, sesama manusialah yang menciptakan sistem yang memperbudak manusia lain. Budak, orang yang dikontrol oleh orang lain untuk kepentingan kerja dan seks. Budak tidak memiliki hak atas dirinya dan sepenuhnya dikontrol oleh orang lain.
Di Sulawesi Selatan, kata "Budak" dapat disepadankan dengan kata "ATA" meski maknanya tidak 100% sama. ATA di zaman dulu terjadi karena beberapa hal
- Peperangan.
Saat kerajaan-kerajaan utama berkembang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, relasi antara kerajaan utama (induk) dan kerajaan kecil (anak) bervariasi. Ada yang diibaratkan ibu-anak dan tuan-majikan. Adapun hubungan kesetaraan diibaratkan "kakak-adik". Pihak yang kalah perang akan diambil tanah dan orang-orangnya (jowa). Ia akan dipekerjakan pada lahan tersebut. Status orang-orang tersebut adalah ATA. Terkadang, mereka berkembang biak, sehingga menjadi ATA MANA atau budak yang diwariskan. Sejak zaman kemerdekaan, banyak diantara mereka dimerdekakan. Bahkan tak jarang mengambil/merebut/membeli lahan bekas tuannya tempat leluhurnya mengabdi sebagai budak. Kata Slave berasal dari kata Slavia, yaitu bangsa yang kalah perang dan dijadikan budak. Nampaknya, peperangan sebagai asal perbudakan adalah hal yang bersifat umum dimasa lalu. - Wanprestasi.
Sejak bangsa Eropa datang, penggunaan uang sebagai alat transaksi semakin massif. Akibatnya adalah pola hidup juga berubah. Utang yang tak dapat dibayar, menjadi alasan perbudakan. Sehingga orang yang punya utang harus membayar utangnya dalam bentuk bekerja dalam jangka waktu tertentu. - Komuditas Ekonomi.
Aktifitas ekonomi kerajaan di tahun 1700-1800an yang terganggu dengan kehadiran VOC di Makassar (Fort Rotterdam), menyebabkan penguasa lokal menjadikan pelabuhan Cenrana (Bone) dan Pare-pare sebagai pelabuhan alternatif untuk perdagangan antar pulau. Di era itu, manusia (budak) adalah komuditas ekonomi yang menguntungkan. Maka ramailah penangkapan manusia untuk diperdagangkan. Mereka bisa saja budak orang lain, orang merdeka bahkan kerabat istana yang ketiban sial. Dari cerita tutur yang pernah kami dengar, seorang putri bangsawan sedang memetik kapas, tiba-tiba serombongan menangkapi dan menjualnya. Hingga akhirnya dibeli oleh bangsawan lokal lainnya. Beberapa waktu berselang, orang tuanya dengan pakaian kebesarannya yang bertabur emas datang untuk membeli kembali putrinya.
- Bangsawan rendah memperkenalkan diri pada bangsawan tinggi
Saya hambanya=keluarganya Petta/Datue. diperanakkan oleh sesamaku hamba=keluarga
Bangsawan tinggi yang mengerti etika/tata krama/tata bahasa, akan mengerti bahwa yang bersangkutan adalah keluarga dekatnya. Meski yang bersangkutan mengaku "budak" tapi dalam terminologi bangsawan tinggi justru mengerti bahwa yang bersangkutan adalah "orang dekat". Maka setelah memperjelas siapa nama orang tua yang bersangkutan (Sangatakku) maka bangsawan tinggi tersebut (Petta/Datu) akan menghubungkan silsilah yang bersangkutan dengannya lalu memberinya tempat duduk yang pantas, meski yang bersangkutan ingin duduk dibawah/lantai.
Apabila memperkenalkan diri dengan kalimat sebagai berikut :
Massijingki tu Pung Datu = Kita berkeluarga Pung Datu
Dianggap kurang etis/kasar sebab bahkan bangsawan tinggi yang setara tidak menggunakan kalimat seperti diatas. Dan secara otomatis bangsawan tinggi tersebut akan menilai bahwa yang bersangkutan kurang mengerti etika/tata krama yang menjelaskan bahwa bukan berasal dari kalangan istana
- Sesama bangsawan memperkenalkan anak/kemenakan/cucu pada bangsawan lain
Inilah hamba=keluarga anda=anak saya" kita dinamai xxxx
YinaE ATAmmu puang ri asengnge xxxx
YinaE ATAnna Petta/DatuE ri asengnge
Simpulan
ATA secara denotatif memang ada dalam sejarah Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya dinamika ekonomi-politik yang mempengaruhi status sosial seseorang/kelompok. Namun, ATA juga dapat dipahami sebagai "kata ganti orang pertama atau orang ketiga" dalam etika berbahasa.
2 komentar
Betul... Sekali.....
Betul... Sekali.....
EmoticonEmoticon