Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis berdasarkan Naskah MEONG MPALOE -Resensi Buku

Ketika modernisasi pertanian belum menyentuh orang Bugis, naskah Meong MpaloE (MPB) mendapat posisi khusus. Betapa tidak, sebelum menanam padi, saat Maddoja Bine MP dibacakan saat malam sebelum bibit padi ditanam esoknya.
MPB bukan hanya sekedar "hiburan malam" para petani ketika musik remix belum menyerbu desa-desa. MPB juga bukan sekedar bacaan hampa. Namun, MPB juga bernuansa mistis, perekat masyarakat serta berisi petuah-petuah secara tersirat.

=============================================================
Judul : Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis berdasarkan naskah Meong MpaloE
Penulis : Nurhayati Rahman
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Penerbit : La Galigo Press Makassar
Halaman : 215 Halaman
=============================================================
MPB dapat dilihat dalam dua perspektif. Dari segi isinya ia masuk salah satu episode Sureq Galigo, karena bercerita tokoh-tokoh dalam Lagaligo. Dari segi genre kesusastraan Bugis ia masuk kategori toloq (hal 18)
Tokoh utama dalam MPB adalah Sangiang Seri atau We Oddang Riu putri Batara Guru dengan istrinya We Nyili Timo. Ini berarti, Sangiang Seri bersaudara dengan I Lati Uleng Batara Lattu ayahanda Sawerigading. Tokoh pendampingnya adalah Meong Paloe. Sang penjaga padi yang setia.
Disebutkan bahwa Sangiang Seri meninggal diusia muda, lalu diatas makamnya tumbuh padi. Menetap di Luwu, Sangiang Seri tidak betah akibat perlakuan manusia padanya. Sehingga bersama rombongan ia pergi ke Enrekang, Maiwa, Soppeng, Langkemme, Kessi, Watu, Lise, dan akhirnya sampai di Barru.(hal 22)
Di Barru, Sangiang Seri bersama rombongan disambut degan penuh kehangatan, dijamu, diistirahatkan di Langkayan, ditambah sifat keramah tamahan penduduk, keadilan dan kebijaksanaan penguasa membuat Sangiang Seri dan rombongan betah. Sangiang Seri telah ditakdirkan oleh Dewa untuk memberi kehidupan di bumi, sehingga tidak diperkenankan kembali ke langit (botinglangi) (hal 22)

Buku karangan Prof. Nurhayati Rahman ini memberikan tinjauan filologi terhadap teks MPB. Ada 7 (tujuh) naskah yang dikomparasi dan kemudian dideskripsikan. Selanjutkan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami arti dari naskah MPB.
MPB membawa banyak pesan, salah satunya adalah bahwa Sangiang Seri tidak ingin tinggal didaerah yang suami istri gemar bertengkar, penguasanya sewenang-wenang dan memperlakukan kucing secara kasar. PB seolah mengajarkan tentang pentingnya hubungan antara sesama manusia dan pengaruhnya pada alam.

Suatu waktu saya ke Soppeng berbincang dengan seorang petani disana. Beliau mengatakan, : "bahwa kami (petani di Soppeng) dan petani didaerah Sidrap, Bone dan Wajo selalu menunggu hasil tani di Barru". Dia melanjutkan, : "Apabila panen padi di Barru berhasil, maka didaerah lain juga berpeluang. Namun bila padi di Barru gagal panen, maka bisa dipastikan semua petani di sekitarnya (Soppeng, Sidrap, Bone dan Wajo) juga gagal panen".

Ketika saya tanyakan mengapa demikian, petani Soppeng itu cuma mengatakan,:  "Sangiang Seri ada disana". Dalam hatiku bergumam, : "wajar, sebab orang Barru umumnya baik dan mengutamakan keramahan".(arm)

3 komentar

Sebuah /salah satu naskah yang menyebut langsung Enrekang dan Maiwa....hehehe... tokoh utama dalam naskah mendapat perlakuan yang negatif di kedua tempat tersebut....

Kita sebagai generasi suku Bugis, selayaknyalah mencintai dan mempelajari nilai-nilai kearifan lokal yg sarat makna, terutama kisah
Meong Mpaloe.

Sangat bermanfaat, bisa dapat bukux d mana ya?


EmoticonEmoticon