Seperti yang dipaparkan pada tulisan sebelumnya, bahwa Politik Uang menjadi subur akibat (paling tidak) dua kondisi. Pertama, kurangnya komunikasi yang tulus antara calon dengan konstituen. Dan kedua, yaitu kurangnya signifikansi antara pemilu dan peningkatan kesejahteraan.
Masyarakat timur, umumnya masih memegang tradisinya. Meski tradisi itu telah bergeser, seiring dengan waktu. Namun secara umum, ketulusan, keakraban, dan harmoni adalah sebuah makna yang melampaui sekedar pertemuan belaka. Bisa dipahami bahwa, orang dapat bertemu setiap hari secara kuantitas. Namun kualitas pertemuan, bak garam bagi sayur, alias yang membuat interaksi (antar calon dan konstituen) lebih berisi. Apabila calon jarang atau tidak pernah berinteraksi (rendah secara kuantitas maupun kualitas) maka, sistem pertahanan diri masyarakat yang mencurigai hal-hal baru, akan bekerja. Masyarakat akan bertanya : "Siapa dia, apa maunya, tumben datang?" dan seterusnya. Sehingga niat baik seorang calon kurang mengenai sasarannya. Calon, dianggap sebagai seseorang yang "ada maunya".
Andai calon telah dikenal dengan baik, menjalin relasi dengan masyarakat dengan baik, apalagi kalau ada kebaikan dari ketulusan yang berbuah kebaikan bagi masyarakat, maka kepercayaan pada calon akan meningkat. Pada gilirannya, masyarakat akan membalas kebaikan dan ketulusan calon, tanpa pamrih. Dengan demikian, politik uang dapat diminimalisasi.
Selanjutnya, para calon terpilih yang ingin dipilih lagi, tentu harus memperlihatkan kinerja yang ril bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tentu ini hal yang sangat berat. Sebab, memahami kesejahteraan, itu membutuhkan data dan rantai analisis yang panjang. Belum lagi kompleksitas kemiskinan sebagai tantangan utama peningkatan kesejahteraan. Seorang calon tentu harus memahami kondisi masyarakat secara utuh. Mulai dari sistem sosial, nilai budaya, agraria, sistem ekonomi, dan sebagainya. Termasuk juga data kuantitatif dan kualitatif. Setelah itu, pemahaman yang utuh tentang pemiskinan struktural serta alasan lain yang menyebabkan kesejahteraan tidak meningkat. Terakhir, pemahaman yang utuh tentang solusi dengan pendekatan multidisipliner tentang peningkatan kesejahteraan, lengkap dengan langkah-langkah yang terukur selama satu periode.
Tentu pembahasan peningkatan kesejahteraan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Apalagi langkah-langkah rill yang terukur dalam waktu 5 tahun. Namun, minimal ada penelitian mendalam tentang misalnya nelayan, petani tembakau, dan profesi lainnya yang spesifik. Sehingga kelak ketika calon terpilih, mampu mendorong sebuah visi dan misi yang jelas (bukan dibuat oleh tim sukses).
Segenap pihak, baik pemerintah, aparat keamanan, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat sendiri harus berkomitmen untuk melawan politik uang.
Bagi pemerintah, bekerjasama dengan pengawas pemilu dan aparat keamanan, untuk turun langsung memantau untuk mencegah serangan fajar. Terkhusus pemerintah, harus memperlihatkan prestasi berupa kebijakan-kebijakan ril yang mendorong peningkatan kesejahteraan. Untuk calon (peserta pemilu) hendaknya meningkatkan kualitas dan kuantitas interaksinya dengan masyarakat, tentu dengan membawa ketulusan untuk kesejahteraan rakyat. Penyelenggara pemilu sendiri, harus lebih pro aktif mensosialisasikan gerakan anti politik uang. Sedang masyarakat, harus sadar bahwa pilihan mereka mempengaruhi kebijakan selama 5 tahun mendatang. Dengan komitmen dan koordinasi yang tepat, semoga politik uang ini bisa diminimalisir. Sehingga kedepan, transisi demokrasi ini bisa segera ditinggalkan menuju demokrasi yang lebih berkualitas. Semoga. (arm)
Baca juga :
Mengenali Jenis-Jenis Pemilih pada Pemilu
Politik Uang
Gagap Demokrasi Masyarakat Post-Tradisional
EmoticonEmoticon