Kutuliskan cerita ini yang mungkin membosankan, membingungkan atau mungkin tidak perlu. Hanya sekedar catatan tentang sepenggal kisah para pelajar sekolah kehidupan yang belajar bertani. Yah sekedar catatan. Bukan untuk menyakiti perasaan siapapun. Sebab, tidak baik menyakiti perasaan orang lain. Dan lebih tidak baik pula jika mengobati perasaan yang sakit dengan cara menduplikasi sakit itu ke orang lain. Jadi, cerita ini hanya catatan. Yang semoga kelak, ada yang tertawa membacanya. Meski hanya satu atau dua orang.
Beberapa pelajar sekolah kehidupan terbius dengan idealismenya. Hatinya selalu terbakar semangat, pikirannya dipenuhi gagasan-gagasan yang inovatif dan tak lazim. Para pelajar sekolah kehidupan selalu berbahagia dengan kemerdekaannya kini. Sebab dulu sebelum belajar di sekolah kehidupan, ia adalah orang yang terbodohkan oleh pembodohan dimasa lalu.
Pelajar ini sangat ingin membagi sedikit ilmu yang ia ketahui. Sekedar menduplikasi orang-orang yang berpikir maju dan menjadi insan merdeka. Merdeka bertuhan, merdeka berpikir, merdeka memilih jalan hidup. dan untuk itu, pelajar harus jadi petani. Ya, pelajar harus jadi petani.
Di sekolah kehidupan, dulu para pelajar hanyalah bibit yang disemai oleh pelajar sebelumnya. Akhirnya menjadi tunas dan menjadi padi yang dituai. Sekarang para pelajar itu bak gabah yang telah dipanen dan siap menabur bibit lagi.
Setelah itu, beberapa pelajar yang bertani memilih lokasi yang ia anggap cocok dijadikan sawah. Disemainya bibit sejak jam 8 malam hingga jam 8 pagi. Namun, beberapa pelajar itu ditugaskan membuka sawah yang lain. Sehingga tinggallah seorang petani menanam padi.
Waktu berjalan, proses berkembang. Bibit jadi tunas. Namun, belum waktunya dipanen, petani itu meninggalkan padi yang belum menguning itu. Padi itu mengkomplain, mengapa petani harus meninggalkannya. Bukankah itu berarti membiarkan badai merusaknya? Namun Petani berpendapat, padi yang dimanja takkan mampu menjadi padi yang merdeka. Petani sangat ingin menjadikan padinya sebagai padi yang merdeka. Merdeka bertuhan, merdeka berpikir, merdeka memilih jalan hidup.
Alhasil, padi yang belum menguning itu perlahan menguning. Padi itu memanen dirinya. Ia telah menjadi pelajar sekolah kehidupan yang tak lama lagi menjadi petani baru. petani baru hasil dari padi yang baru menguning ini ternyata lebih produktif dari petani sebelumnya. Sendiri ia menabur bibit banyak-banyak. Bahkan sangat banyak. Petani telah menjadi petani tua. Padi yang memanen dirinya telah menjadi petani baru. mereka sekarang sederajat. Sama-sama petani, hanya persoalan siapa yang lebih dulu saja membedakan mereka.
Lahan sempit itu telah menjadi lahan yang sangat luas. Petani tua itu hanya bisa berbangga sebab ia telah menjadi katalisator yang baik untuk petani muda yang jauh lebih produktif. Luar biasa, begitu gumannya dalam hati.
Seorang pelajar sekolah kehidupan yang lain datang. Ia adalah pelajar yang dulunya rajin bertani. Tapi sejak berpikir dinar, ia melihat padi adalah lahan bisnis dengan nilai 60 ribu perkepala. Segera ia mendekati petani muda itu.
Dulunya, petani tua itu pernah berpesan, ia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun kecuali si Dinar. Sebab ia dulunya seperguruan di sekolah kehidupan. Tapi si Dinar selalu mencuri lewat pintu belakang, dan menilai usaha tani dengan dinar, sesuai namanya. Tapi petani tua itu selalu memberi kesempatan kepada petani muda untuk memilih. Sebab, memaksakan kebenaran berarti penjajahan. Memberi kemerdekaan berbuat, justru membiarkan kesalahan. Suatu pilihan dilematis bagi orang yang menganjurkan kemerdekaan seperti petani tua itu.
Si dinar tak punya sesen pun saham atas lahan yang luas itu. Namun karena keserakahan si dinar, ia menghasut petani muda. Mereka bersekongkol tanpa sepengetahuan petani tua untuk memanen padi yang belum waktunya dipanen. Demi 60 ribu perkepala.
Kini petani tua itu tinggal digubuk bersama anak istrinya. Ia sudah tidak peduli dengan bertani. Sebab buat apa mengerjakan sawah bertahun-tahun jika hanya untuk dipanen si dinar jika belum waktunya. Petani tua itu ingat pernyataan si Dinar yang ketika sok suci mengutip pernyataan manusia suci : Ujilah saudaramu dengan Dinar. Dan si Dinar tak ragu memakan saudaranya demi Dinar. Sejak itu, petani tua menganggap si Dinar adalah orang lain meski pernah belajar bersama disekolah kehidupan.
Petani tua tidak memusuhi petani muda. Malah ia ingin membantu petani muda itu agar sisa batang padinya yang belum dibakar setelah panen itu agar tumbuh kembali padi berikutnya dipohon padi yang sama. Tapi tak terkira apa yang hendak dikatakan dan dilakukan petani tua pada si dinar atas kekurangajarannya.
Sekedar tambahan, si Dinar adalah orang suci. Ia tak pernah bersalah meski ia telah merampok saudara-saudara seperguruannya disekolah kehidupan. Selalu ada alasan pembenar atas ketidakbenaran perbuatannya.
Kadang petani tua berpikir, jika ia berusaha agar petani muda menemukan kemerdekaannya justru kelak menjadi jalan menjadi budak si Dinar, maka akan lebih baik jika petani tua memperbudak si petani muda. Agar perbudakan pada petani muda menjadi hambatan bagi si Dinar memperbudak petani muda. Tapi petani tua berpikir, buat apa? Toh hidup ini hanya sekedar cerita tentang perjuangan padi-padi yang memerdekaan diri dari sawahnya. Sekarang, petani muda mereorientasi tujuannya. Apakah tetap menjadi budak setia si Dinar yang suka memangsa saudaranya, atau meluruskan kembali visi kemerdekaan seperti ketika petani meninggalkan padi agar padinya menjadi padi yang merdeka.
CERITA LUGU PETANI YANG PADINYA DIPANEN TANPA SEPENGETAHUANNYA DAN BELUM WAKTUNYA
Penulis Andi Rahmat Munawar
Tags
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon