Memang berbicara tentang Tuhan adalah hal yang sangat sensitif. Kadang karena sensitifitas yang berlebihan sehingga obyektifitas dan rasionalitas dalam menilai sesuatu berkurang bahkan hilang. Akibatnya adalah kesimpulan yang ditarik akan bersifat a-priori, kurang rasional dan cenderung bias. Oleh karena itu untuk membahas lebih lanjut, kita harus melepaskan sikap arogan dan subyektifitas kita.
Tulisan ini berangkat dari perenungan setelah membaca fenomena yang terjadi. Jadi walau tidak bisa terlepas dari subyektifitas penilaian, tapi setidaknya penulis berusaha obyektif melihat realitas obyektif yang terjadi.
Kata “terpenjara” bermakna ada pihak yang memenjarakan dan ada yang merasakan keterpenjaraan. Dari judul diatas, pihak yang terpenjara adalah Tuhan. Disini muncul pertanyaan. Bisakah yang maha kuasa terpenjara ? atau mengapa Ia terpenjara ? atau bagaimana Ia terpenjara ? atau benarkah Ia terpenjara ? kapan Ia terpenjara ?
Sekiranya memang demikian adanya maka muncul lagi pertanyaan, siapa yang memenjarakannya ?
Jika kita menggunakan pendekatan kesejarahan, dapat dilihat bahwa agama sebagai kumpulan ajaran yang berbicara tentang Tuhan ternyata lahir dikalangan orang-orang tertindas. Misalnya Musa yang mengajarkan tentang Tuhan dikalangan Bani Israil. Musa mengajarkan kepada manusia (termasuk kita) tentang penolakan penghambaan selain Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan. Keberpihakan Tuhan begitu jelas, pada orang-orang yang menyerukan kebersamaan dan penolakan terhadap penghambaan sesama makhluk.
Pun Ibrahim a.s demikian, menyerukan kepada penuhanan Tuhan yang sesungguhnya. Isa a.s bersama orang-orang sakit, miskin, tertindas dan sama dengan pendahulunya, menyerukan penghambaan pada Tuhan. Muhammad pun demikian. Beliau menyerukan kepada Bilal (simbol egaliterian manusia) untuk azan diatas kabah (simbol kejayaan arab dan Islam). Beliau mengajarkan masyarakat tanpa kelas jauh sebelum Marx lahir. Beliau menentang praktek eksploitasi ekonomi berupa riba jauh sebelum Marx menemukan teori nilai lebih. Atas nama Tuhan mereka meneriakkan kebenaran. Atas nama Tuhan mereka mengajarkan kesejajaran manusia. Atas nama Tuhan mereka mengajak pada penyerahan diri pada Tuhan.
Jika kita menggunakan pendekatan keagamaan, ternyata dari berbagai kitab suci selalu diajarkan untuk menghormati sesama manusia, alam dan mengajak pada penghambaan pada Tuhan. Dalam salah satu surah, Tuhan bertanya : Tahukah engkau orang yang mendustakan agama ?. pertanyaan ini dijawab oleh ayat berikutnya : yaitu orang yang melalaikan shalat dan menghardik anak yatim. Dalam logika, kata “dan” berarti bukan salah satu, tapi keseluruhan. Jika hanya salah satunya terpenuhi maka tidak dapat digolongkan yang “tidak mendustakan agama”. Belum lagi puluhan bahkan mungkin ratusan ayat lain yang berbicara tentang kepedulian sosial. Atau ayat lain yang berbicara kebersamaan, keadilan dan penyeruan untuk melawan penghambaan selain Tuhan. Agama mengajarkan untuk memperbaiki hubungan vertikal kita (hablum minallah) dan hubungan horizontal kita (hablum minannas)
Lantas, dari dua pendekatan diatas apa hubungannya dengan judul tulisan ini ? Jawabannya sederhana. Jawaban dalam bentuk pertanyaan. Dimana Tuhan ketika kemiskinan terstruktur terjadi ? Dimana Tuhan ketika buruh ditindas dengan upah yang rendah. Dimana Tuhan ketika anak usia sekolah yang seharusnya sekolah tapi mereka harus jadi pemulung untuk makan. Dimana Tuhan ketika ketidakadilan dan mandulnya hukum terjadi. Dimana tuhan ketika hak-hak mendapat pengajaran terenggut oleh biaya pendidikan yang mahal. Dimana Tuhan ketika dana yang ditarik dari rakyat, dicuri oleh orang berdasi. Dimana Tuhan ketika tanah rakyat dirampas atas nama pembangunan. Dimana Tuhan ketika kelaparan melanda orang yang bertetangga dengan rumah bertingkat lima dengan mobil tiga. Dimana Tuhan ketika pengemis mencari sesuap nasi di halaman hotel berbintang lima.
Tuhan sekarang bukan lagi milik orang tertindas seperti Bilal, tapi milik penguasa. Tuhan tidak ditemui diantara fakir-miskin seperti dizaman dahulu, tapi terpenjara oleh tembok megah rumah ibadah. Tuhan tidak lagi milik para pencari Tuhan, tapi milik segelintir orang yang dianggap alim. Tuhan tidak lagi milik umat, tapi milik para politisi yang berebut kekuasaan. Tuhan tidak lagi milik umat, tapi milik sebagian ulama arogan yang suka mengkafirkan orang yang tidak semazhab dengan dia.
Tuhan telah terpenjara didada ulama arogan dan tidak menyentuh realitas, lalu menggunakan kata Tuhan” atas sejenisnya untuk mengingat surga-neraka dan melupakan kefakiran. Tuhan telah terbelenggu oleh retorika politisi, yang olehnya jalan menuju kursi kekuasaan akan menjadi lancar. Tuhan telah terjual oleh iklan-iklan dan label halal produk kaum pemilik modal, yang olehnya masyarakat mengkonsumsi produk tanpa ragu. Tuhan telah terkungkung oleh perdebatan filosofis para filosof, yang kemudian hanya berputar-putar dialam ide mereka tanpa membumikan pemahaman mereka pada realitas.
Kita tidak akan menemukan Tuhan disekolah, kampus atau kantor. Tuhan telah terpisah dari fakir miskin, anak terlantar, buruh. Tapi sekali lagi, Tuhan telah terpenjara dibalik tembok rumah peribadatan. Atas nama Tuhan, yang halal menjadi haram, pun sebaliknya. Atas nama Tuhan yang beriman menjadi kafir, pun sebaliknya. Atas nama Tuhan, seseorang bisa menjadi penguasa. Atas nama Tuhan dan takdir yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Atas nama Tuhan, seseorang membunuh orang lain yang tentunya ciptaan Tuhan juga. Atas nama Tuhan, rumah peribadatan dibakar. Atas nama Tuhan, segala keinginan manusia entah baik atau buruk akan terjadi.
Sekarang terserah kita. Apakah rela melihat keterpenjaraan, keterbelengguan dan keterkungkungan Tuhan oleh orang-orang yang mengaku beragama. Atau kita membebaskan Tuhan dan mengembalikan Tuhan pada pemiliknya, yaitu orang-orang merasakan ketidakadilan, kemiskinan dan penindasan sebagai wujud pemaksaan penghambaan pada selain Tuhan ?
Makassar, 26 Oktober 2001
DAN TUHAN PUN TERPENJARA
Penulis Andi Rahmat Munawar
Tags
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon