Temanku, sebut saja Mr.XXX, adalah asisten dosen disalah satu perguruan tinggi. Mr.XXX tidak ada hubungannya dengan salah satu film laga. Apalagi situs porno. Saya sebut Mr.XXX karena biasanya sesuatu yang tidak mau diketahui identitasnya disebut Mr.X. Kalau tiga kali X berarti intensitasnya tiga kali lipat ketidakinginannya untuk diketahui identitasnya. Jadi sekali lagi tidak ada hubungannya dengan film laga atau situs porno.
Mr.XXX barusan mengawas ujian dan bercerita kepadaku tentang perilaku mahasiswa. Ada yang tenang mengerjakan soal ujian. Ada yang gelisah menengok kiri kanan depan dan belakang untuk mendapatkan contekan. Ada yang dengan tenang mengeluarkan pelampungnya. Ada pula pura-pura ke WC untuk membuka catatannya.
Hasil pengamatan Mr.XXX adalah umumnya mahasiswa memegang teguh prinsip “posisi menentukan nilai”. Nampaknya, perebutan kursi paling belakang adalah salah satu kompetisi pra ujian. Hanya segelintir mahasiswa yang percaya diri untuk duduk paling depan. Tentu ini berhubungan langsung dengan peluang untuk mendapat contekan. Semakin didepan duduk berarti semakin terlihat oleh pengawas. Sebaliknya, semakin dibelakang duduk, maka semakin tersamarkan gerakan-gerakan tanpa bayangan untuk membuka catatan dan menyontek.
Beberapa hari sebelum ujian, Mr.XXX memberikan pengarahan pada mahasiswanya. Dia merumuskan teorinya : “Orang yang duduk didepan, cenderung adalah orang terdepan sedangkan orang yang duduk dibelakang cenderung terkebelakang”. Sederhana memang, tapi menarik perhatian saya untuk mengorek keterangan lebih jauh.
Dia melanjutkan : “Orang yang duduk didepan waktu kuliah adalah orang yang ingin mendengarkan penjelasan dosen dengan sejelas-sejelasnya. Sehingga penting baginya untuk duduk dibarisan paling depan. Sebaliknya, orang yang duduk dibelakang umumnya karena ingin bermain-main saat dosen menjelaskan didepan kelas. Paling tidak, mahasiswa tersebut kekurangan waktu bergosip sehingga jam perkuliahan pun dijadikan waktu bergosip”.
Mr.XXX kembali menjelaskan pada saya : “Begitupun waktu ujian, orang yang duduk didepan adalah orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Sebaliknya, orang yang duduk dibelakang adalah orang yang tidak percaya diri dengan kemampuannya sehingga harapannya bukanlah hasil pembelajarannya, akan tetapi contekan teman yang dianggap lebih kredibel untuk dicontek (berarti dirinya tidak pantas dicontek), pelampung/catatan (daya ingat terhadap pelajaran lemah karena lebih banyak menghapal lagu dan hura-hura lainnya)”.
Mr. XXX kembali bertutur : “Mahasiswa kita mengalami krisis kepercayaan diri tingkat akut dalam proses pembelajaran dibangku pendidikan. Mungkin gurunya waktu SD hingga SMA lupa menjelaskan bahwa tiap manusia memiliki potensi yang sangat luar biasa. Sehingga terbangun paradigma secara tidak sadar bahwa otak,akal dan daya pikir kita lemah. Akibatnya, bisa kita saksikan langsung diruang ujian, yaitu upaya membuka catatan, pelampung dan menyontek.”
Mr.XXX melanjutkan : “Jika pendidikan bertujuan memanusiakan manusia, maka sudah selayaknya pendidikan merenovasi paradigma duduk dibelakang – terkebelakang, menjadi paradigma optimalisasi potensi – percaya diri – terdepan. Sayang sekali jika perkuliahan hanya menjadi formalitas. Datang,duduk dan diam dibangku kuliah. Setelah itu, menyontek saat ujian. Betapa ruginya jutaan rupiah dihambur untuk membayar biaya pendidikan”. Saya kemudian menyela : “Siapa yang salah dan apa yang harus dilakukan”?
Mr.XXX menjawab :” Sederhana. Pertama, metode pendidikan harus dirubah dari pola satu arah (monolog) menjadi berbagai arah (dialog). Artinya, memberikan kesempatan lebih kepada mahasiswa untuk berbicara dalam mengupas sebuah gagasan. Kedua, memberikan gambaran bahwa potensi tiap individu sebenarnya sangat luar biasa. Dengan menggunakan pendekatan matematika yang agak provokatif tentang berapa jumlah sel neuron dalam otak, atau pun dengan menjelaskan betapa luar biasanya dirinya agar mahasiswa sadar akan potensinya dan muncul kepercayaan dirinya dalam belajar. Ketiga, memaksa mahasiswa agar banyak membaca literatur” Dia melanjutkan lagi : “Saya baru menganggap pendidikan kita berhasil, jika disaat ujian tak ada lagi yang mau menyontek, tak ada lagi yang bawa pelampung. Dan tentunya soal ujian itu bisa dijawab dengan cepat dan tepat. Selama dalam ujian ada yang nyontek, ada yang buka pelampung, terlambat dikumpul lembar jawaban atau pun jawaban keliru, maka kita perlu memperbaiki proses pendidikan kita”.
Saya hanya diam terpaku mendengar penjelasan yang panjang,lebar dan tinggi dari temanku itu. Paling tidak untuk ceramahnya tadi, saya telah menjadi mahasiswa yang “duduk didepan” bagi dia. Sambil kembali memutar memori tentang masa sekolah dan kuliah, yang sewaktu-waktu menyontek teman dan juga dicontek teman. Sehingga bukan lagi kegiatan belajar mengajar, tapi kegiatan menyontek - dicontek. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, wajar jika bangsa ini adalah bangsa yang latah. Proses latahisasi tercipta sejak menyontek saat ujian. Bayangkan jika 50% + 1 (rumus ini tidak ada hubungannya dengan voting pada pemilihan ketua BEM) dari jumlah pelajar dan mahasiswa di Indonesia seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa ada borok besar dalam upaya kita dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika ini terjadi (semoga saja tidak) maka dapat dibayangkan bangsa yang sedang bangkit ini kedepan. Pasti akan kembali berjalan tertatih-tatih karena kualitas SDMnya adalah kualitas latah.
(Sebagian) Potret Pendidikan Kita : Sepotong ceramah singkat dari Mr.XXX
Penulis Andi Rahmat Munawar
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 komentar
Membaca postingan ini, saya jadi merasa sedang duduk di barisan bangku paling depan dari matakuliah Mr.XXX dan ORANGBIASA.
Heeeheee
tentu....belajar harus penuh semangat dan percaya diri....agar potensi diri bisa berkembang secara maksimal
EmoticonEmoticon