Sejak 2011 La Galigo ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO. Ini membanggakan kita sebagai anak bangsa. Penetapan tersebut mendorong kembali La Galigo ke permukaan. Setelah arus modernisasi di berbagai lini kehidupan mencerabut La Galigo dari masyarakat pemiliknya.
Kini, La Galigo makin marak kembali diperbincangkan. Baik mereka yang pernah mendengarkan tutur langsung dari tokoh adat, membaca langsung naskahnya, menyaksikan upacara adat yang berkaitan La Galigo, atau bahkan mereka yang tidak mampu mengeja huruf lontaraq sekalipun.
Meski berkisah tentang Luwu dan Cina, La Galigo bukan milik satu suku saja. Ia tersebar dan diwariskan dari generasi ke generasi di berbagai etnis di Sulawesi. Pewarisan La Galigo pada masyarakat, baik berupa kisah tutur, tradisi lisan massureq, manuskrip, praktik upacara adat seperti mallawolo, bahkan norma hingga nilai-nilai dasar kehidupan. Tentu saja model pewarisan La Galigo pada masing-masing generasi tidak seragam. Sangat tergantung bagaimana penyikapan sebuah masyarakat terhadap La Galigo. Namun terlepas dari hal tersebut, tokoh utama dalam La Galigo, yaitu Sawérigading dan Wé Cudai, dikenal oleh berbagai etnis di Sulawesi. Terutama kisah pernikahan antara keduanya.
Naskah La Galigo, tersebar di masyarakat dan terkadang dipusakakan. Dahulu kala, naskah ini dibacakan pada momen sakral tertentu. Seperti acara kelahiran, pernikahan, naik rumah baru, sebelum turun sawah, dan sebagainya. Juga pada momen umum, sebagai hiburan sekaligus edukasi. Semacam kegiatan menonton sinetron seperti saat ini. Pembacaan pada momen umum ini, dilakukan saat malam. Dengan cara seorang passureq membacakan naskah La Galigo, kemudian satu orang lagi menjelaskan makna tersirat pada pendengarnya. Tradisi ini bertahan sampai tahun 1980an. Hingga akhirnya hiburan TV dan elekton menggantikan posisi pembacaan La Galigo pada masyarakat.
Naskah La Galigo dibacakan oleh passureq dengan langgam yang khas yang disebut massureq selléang. Satu naskah terdiri satu episode yang disebut tereng. Terkadang dalam satu naskah tidak terdapat tanda baca untuk menandai akhir sebuah kalimat. Bahkan sering kali tidak ditemukan spasi antarkata dan kalimat. Sehingga bagi pembaca pemula akan sangat kesulitan.
Akan tetapi bagi passureq, ini bukan masalah yang
berarti. Sebab selain telah menjadi kebiasaaan, juga pola pembacaan dibagi lima
penggal frasa atau kadang juga dua penggal frasa digabung menjadi 10 suku
kata dalam setiap jeda. Hal demikian
dilakukan agar saat La Galigo dinyanyikan, passureq dapat menyesuaikan dengan
irama lagunya.
Upaya pengumpulan dan penulisan ulang naskah La Galigo diinisiasi oleh B. F. Matthes. atas bantuan Colliq Pujié bersama timnya, akhirnya naskah La Galigo yang terdiri 12 jilid ini dirampungkan. Kemudian dibawa ke Belanda dan tersimpan di perpustakaan universitas Leiden dengan kode NBG Boeg 188.
Tentu saja sulit merangkum keseluruhan La Galigo yang berbentuk naskah. Sebab naskah NBG Boeg 188 saja, sudah dinobatkan sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Sementara, masih ada episode La Galigo yang tidak terangkum dalam naskah NBG Boeg 188. Beberapa di antaranya adalah Musuna Karaéng Tompo, Méong Mpaloé, Taggilinna Sinapatié, dan sebagainya. Dapat dibayangkan, jika keseluruhan La Galigo yang tersebar di masyarakat, di berbagai perpustakaan baik dalam maupun luar negeri ini disatukan. Pastinya akan lebih panjang lagi.
Tokoh utama dalam La Galigo, yaitu Sawérigading, dikenal sebagai Opunna Wareq. Sementara istri sekaligus sepupu sekalinya (‘sepupu sekali’: istilah yang dikenal dalam budaya Bugis untuk sesama anak dari satu garis pertalian darah atau berasal dari orang tua yang bersaudara sekandung; anak dari dua bersaudara) yaitu We Cudai dikenal sebagai Datunna Cina. Ia mewarisi jabatan dari ayahnya La Sattumpugi Opunna Cina. Pernikahan keduanya senantiasa dikenang oleh pewaris La Galigo sebagai bagian utama dari epos ini. Pernikahan yang mengulang keagungan pernikahan Batara Guru dari Botillangi dengan Wé Nyiliq Timoq dari Uriq Liu, yang dilanjutkan dengan pernikahan Batara Lattuq dari Luwu dengan Wé Datu Sengngeng dari Tompo Tikka.
Jika membaca naskah La Galigo, memang kita tidak akan menemukan kata Bugis. Sebab kata Bugis adalah istilah yang muncul di belakang. Akan tetapi semua maklum bahwa Bugis adalah pengindonesiaan kata Ugiq. Bila menelusuri La Galigo, akan banyak ditemukan kata Ugiq. Sebab tokoh utama Wé Cudai adalah To Ugiq. Selain itu, beberapa bagian dari epos ini berkaitan dengan tokoh dan negeri Ugiq.
Pada kesempatan ini,
penulis mengangkat kata Ugiq dalam La
Galigo. Lebih spesifik, berdasar naskah NBG Boeg 188. Perlu dipahami bahwa
naskah La Galigo bukan hanya yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden
yang diberi kode NBG 188. Tetapi masih banyak naskah La Galigo dari berbagai
episode yang tersebar pada berbagai museum, kolektor, dan masyarakat. Untuk
komparasi antarnaskah La Galigo NBG Boeg 188 dengan naskah La Galigo yang lain,
membutuhkan penelitian khusus dari para ahli.
Kembali ke naskah NBG Boeg 188, persebaran kata Ugiq dalam berbagai variasi selain nama tokoh sepupu sekali Sawérigading yaitu Panrita Ugiq, ditemukan sebanyak 310 kali. Dari total 12 jilid, hanya pada jilid 1, 3, dan 5 saja penulis tidak menemukan kata Ugiq. Kata Ugiq dalam La Galigo ini merujuk pada beberapa hal, antara lain. Komunitas, negeri, benda, bahasa.
Lebih jauh sekaitan Ugiq dalam La Galigo ini, tidak jarang kata Ugiq dipadankan dengan kata Cina. Terdapat 142 kali kemunculan kata Ugiq yang beriringan kata Cina. Baik merujuk pada komunitas dengan komunitas, komunitas dengan negeri. Adapun persebarannya ada pada jilid 2, 8, 9, 10, 11, dan 12. Sebagai contoh kutipan dari jilid 10 yaitu: “Tallettuq lempu ri Alé Cina makkélolangeng ri tana wugi”. Artinya, kita sampai dengan selamat di pusat negeri Cina, berkelana di tanah Bugis.
Bila di naskah NBG
Boeg 188 saja, telah ditemukan ratusan persebaran kata Ugiq. Bisa dibayangkan
bila naskah La Galigo lainnya juga ditelusuri. Maka akan sulit untuk
mengatakan, tidak ada Ugiq dalam La Galigo. Sehingga wajar bila La Galigo
menjadi akar budaya To Ugiq yang dirawat dalam ingatan kolektif, upacara adat,
hingga dituliskan pada naskah.
La Galigo adalah mata air kebudayaan yang tidak habis diperbincangkan. Tulisan ini tidak cukup untuk merangkum serba-serbi La Galigo. Mengingat banyaknya hal yang berkaitan La Galigo, mulai persebaran, kedudukan pada masyarakat, fungsi sosial, bahasa, konteks dan pemaknaan, aturan dan upacara adat, kondisi naskah, transformasi pengetahuan, dan sebagainya.
Namun lebih bijak
bila La Galigo dibaca kembali oleh para pewarisnya. Ketimbang menjadi bahan
perdebatan belaka namun masih buta huruf aksara lontaraq. Bukankah untuk
majunya sebuah bangsa, buta huruf harus diberantas?