Judul : Andi Makkasau Menakar Harga 40.000 Jiwa
Penulis : Sabriah Hasan
Penerbit : Pemkot Pare-Pare dan Penerbit Ombak, 2010
Halaman : xxi + 177 Halaman
Buku yang berjudul "Andi Makkasau, Menakar Harga 40.000 Jiwa" ini mengisahkan tentang kepatriotan Andi Makkasau, Datu Suppa Toa. Bersetting di era sebelum kemerdekaan, berlanjut pada revolusi mempertahankan kemerdekaan di daerah Ajatappareng secara umum.
Di bagian pertama, berkisah tentang latar belakang sejarah persentuhan dengan bangsa Eropa. Kemudian, pergolakan ditahun 1824 akibat perpindahan kekuasaan kolonial dari Inggris ke Belanda yang ditolak oleh penguasa lokal termasuk Suppa. Hingga politik pasifikasi tahun 1905 yang memaksa Raja-Raja se Sulawesi Selatan terpaksa menandatangani Korte Veklaring.
Latar belakang Andi Makkasau hingga diangkat menjadi Datu Suppa dibahas di bagian kedua. Pergerakan bawah tanah hingga terang terangan yang mendukung kemerdekaan Indonesia berujung pemecatan sebagai Datu Suppa ditahun 1938. Lepasnya tanggung jawab sebagai Datu Suppa, membuat Andi Makkasau lebih leluasa bergerak sebagai aktivis. Kemerdekaan Indonesia disikapi dengan pembentukan organisasi Penunjang Republik Indonesia (PRI).
Pasca Kemerdekaan dan Kedatangan tentara sekutu menjadi pembahasan berikutnya di bagian ketiga. Dimulai dengan Konfrensi Jongayya (15 Oktober 1945) disusul Konfrensi Pare-Pare (1 Desember 1945) yang dihadiri para aristokrat Sulawesi Selatan yang menolak kedatangan Belanda. Disusul dengan Konfrensi Malino yang diprakasai NICA (15-25 Juli 1945) yang berisi pembentukan NIT. Suasana makin memanas
Di bagian keempat, gejolak perlawanan semakin menggeliat. Sebagai realisasi Konfrensi Pare Pare, para pemuda mendaftarkan diri untuk dikirim ke Yogya mempertahankan kemerdekaan. Atas prakarsa Abdul Qahhar Muzakkar dan Andi Mattalatta setelah menghadap Jenderal Sudirman, maka dibentuklah TRI-Persiapan Sulawesi (hal.88). Selain itu, mulai bermunculan laskar laskar rakyat, salah satunya yang dibentuk Andi Makkasau. Dengan segala keterbatasan, Andi Makkasau bersama laskarnya bertempur dan bergerilya.
Kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda terpaksa menurunkan korps pasukan elitnya. Bagian kelima buku ini membahas tentang kedatangan pasukan elit Belanda pimpinan Kapten Raymond Westerling. Ia melakukan operasi pembersihan dengan cara cara biadab. Bahkan penuturan beberapa saksi yang pernah melihatnya, Westerling lebih mirip seorang psikopat yang tidak punya nurani dan menembak tanpa alasan ketimbang seorang pasukan elit yang terhormat. Ia membunuhi banyak orang orang yang tak bersalah. Oleh Letnan Jenderal Spoor dan Mayor Jenderal Buurman van Breeden, Westerling telah diberi wewenang untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil kalngkah langkah yang dipandang perlu (hal.100).
Melihat tindakan Westerling tersebut, Andi Makkasau memilih untuk tidak meninggalkan rakyatnya. Bahkan dibujuk beberapa kerabat dan pemuda pejuang untuk meninggalkan Pare Pare dan melanjutkan gerilya. Akan tetapi beliau tetap bersikeras untuk tidak pergi. Di bagian keenam, mengisahkan tentang ditangkapnya Andi Makkasau oleh tentara Belanda. Beliau bertiga dengan Kapten Tahir Dg. Tompo dan Andi Mangkau dalam keadaan terikat. Disiksa berjam jam oleh pasukan elit Belanda, ketiga patriot ini pantang menyerah. Permintaan terakhir beliau adalah bertemu istri dan anak yang baru berusia 9 bulan untuk berpamitan. Harga sebuah prinsip dan keyakinan yang begitu mahal. Yaitu berpisah dengan keluarga tercinta. Terakhir beliau ditenggelamkan di Marabombang dengan keadaan tangan terikat dan diberi batu pemberat. Innalillahi wa Innailahi rajiun. Telah gugur pejuang kusuma bangsa demi mempertahankan kemerdekaan. Kolonel TRIP Andi Makkasau sebelumnya pernah berpesan dalam bahasa Bugis "Mabbaja lalengma iyya', iko maneppa molai laleng barue" (saya hanya merintis jalan, kalian semua lah yang akan melewati jalan baru tersebut).
Baca pula resensi yang lain :
Baca pula resensi yang lain :
EmoticonEmoticon