Kedatangan bangsa Eropa ke nusantara dalam menguasai perdagangan rempah-rempah tidaklah mudah. Mereka menghadapi sikap ramah ala timur yang bisa berubah menjadi perlawanan hebat karena model interaksi yang kurang tepat. Budaya yang berbeda melahirkan sikap yang berbeda, sehingga menjadi sangat penting bagi bangsa Eropa disaat itu untuk mengenal lebih jauh karakter bangsa nusantara.
Di semenanjung selatan sulawesi, suku bugis makassar telah berinteraksi dengan suku-suku lain dinusantara. Pergaulan masyarakat dunia di era itu dan letak strategis sebagai penghubung ke maluku sebagai pusat rempah-rempah menjadikan Makassar sebagai pelabuhan penting. Apalagi setelah benteng Malaka direbut portugis.
Menguasai Makassar di abad ke-17 adalah utopi bagi VOC saat itu, mengingat kuatnya armada laut kerajaan kembar Gowa-Tallo. Namun Spelman mampu membuktikan dirinya bahwa ia mampu. Sebagai pejabat VOC, kemampuan menulis Speelman mengantar karirnya dari seorang administratur (yang sempat dipecat) akhirnya menjadi admiral. Dari Speelman yang rajin menulis, menjadi data-data penting bagi VOC dalam memahami karakter masyarakat sulawesi selatan.
Kejatuhan Napoleon di eropa membuat Inggris berjaya. Belanda yang ditaklukkan oleh Napoleon dilepas. Hak ekonomi VOC dinusantara pun berpindah ke tangan EIC, kongsi dagang Inggris. Raffles, dimasa pemerintahan kolonial Inggris yang singkat masih sempat menulis History of Java. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pengenalan budaya timur oleh kolonial. Bahkan Raffles pernah mengirim utusannya ke sulawesi selatan untuk mengajak bersahabat sekaligus menulis tentang masyarakat sulawesi selatan. Hingga akhirnya, perubahan kondisi politik di eropa menyebabkan EIC menyerahkan kekuasaan ekonominya di nusantara pada Kompeni.
Bersama dengan Aceh, Sulawesi Selatan tidak pernah benar-benar tunduk kepada Kompeni hingga serangan militer terhadap Cut Nya Dien (1905) di Aceh, La Pawawoi Krg Sigeri Arumpone dan Sultan Husein Krg Lembangparang Somba Gowa (1906). Namun, dua daerah "alot" ini tidak sesederhana itu untuk dikuasai oleh Kompeni. Puluhan tahun sebelumnya, Belanda mengirim Snouck Horgronye ke Aceh dan FB Matthes ke Sulawesi. Seperti kita ketahui, karya Snouck tentang Aceh ia dapatkan setelah meneliti masyarakat Aceh puluhan tahun. Itupun setelah ia "pura-pura" masuk Islam, rela disunat dan belajar Islam di Mekkah serta menikahi anak ulama. Karya Snouck "de Atjehers" (1893, 1894), "Daerah Gayo dan Penduduknya" (1903) menunjukkan bahwa Snouck telah menyelesaikan penelitiannya sebelum perang besar yang membuat Cut Nya Dien ditangkap ditahun 1905.
Bagaimana dengan Matthes ? Boleh dikata, bahwa Mattheslah orang pertama yang menulis paling lengkap tentang masyarakat Sulawesi selatan. Dengan bantuan Colliq Pujie, Matthes berhasil menulis ulang Epos terbesar dunia, "ILAGALIGO". Matthes juga menulis (juga menggambar dengan detil) tentang Buginese Chestomastie yang berisi bentuk rumah, senjata tajam hingga peralatan bissu. Matthes juga berhasil membuat karya monumental lainnya, Kamus Bugis-Makassar-Belanda yang mendokumentasikan banyak kosa kata Bugis Makassar klasik yang telah punah oleh penggunanya hari ini. Sumbangan Matthes lainnya adalah sekolah MULO,tempatnya mengajar.
Zaman kemerdekaan, berdatangan peneliti barat lainnya. Sebut misalnya Leonard Andaya, yang mengkaji dan memotret Perang Makassar (1667-1669) secara detil dan komperehensif. Atau misalnya Susan Bolyard Millar, yang mengkhususkan diri mengkaji peran To Matoa dalam prosesi pernikahan bugis. Dan yang fenomenal, Dr. Christian Pelras yang memotret secara holistik manusia bugis dalam karyanya MANUSIA BUGIS. Ada tokoh lokal turut menyumbangkan kajiannya bertema lokalitas sulawesi selatan. Sebut misalnya Prof Mattulada, yang meninjau aspek antropologi hukum lontara Latoa sebagai sumber hukum positif di kerajaan Bone. Atau misalnya Prof Zainal Abidin Farid yang meninjau sudut hukum dan kesejarahan Wajo abad 15-16. Prof Abu Hamid yang mengkaji sisi kemaritiman. Yang mutakhir adalah Prof Ima yang menulis tentang diaspora orang bugis dan Dr Nurhayati yang mengkaji Ilagaligo serta Dr Edward Poelinggomang dari sisi sejarah murni dan Dr Muhlis Hadrawi yang sedikit "nyeleneh" mengangkat sisi seksualitas manusia bugis dalam Lontara Assikalaibineang
Kita hari ini, sangat bergantung pada nama-nama cendekiawan diatas. Beruntung, Sulawesi selatan melahirkan putra-putri terbaiknya yang mewariskan pada kita karya karyanya. Namun seiring waktu, wafatnya Prof Mattulada dan Prof Zainal adalah kehilangan yang sangat besar. Jika kita bayangkan 50 tahun kedepan, tentu anak cucu kita akan sangat kesulitan dalam mencari referensi tentang tema lokalitas. Pertanyaan mendasarnya adalah, "Apakah kita selalu berharap ke Belanda, Perancis dan negara eropa lainnya yang mendokumentasikan sejarah dan budaya kita hingga ke anak cucu kita?" atau pertanyaan lain yang agak ironis "Apakah kita selalu butuh orang Eropa untuk mendeskripsikan identitas kita sendiri?" Tentu saya tidak masuk pada ranah rasialisme,tidak sama sekali tidak. Saya hanya bermaksud menggugah para mahasiswa, bahwa sangat penting bagi mereka untuk mengenal sejarah dan budayanya sendiri. Sangat penting bagi mahasiswa untuk membuat karya ilmiah, skripsi atau tesis yang bertema lokal. Sehingga 50 tahun kedepan, anak cucu kita punya referensi yang cukup untuk mengetahui sejarah dan budayanya tanpa harus berharap pada bangsa asing.
Seorang mahasiswa PTS dimakassar jurusan planologi mengangkat judul "Tata Ruang Danau Tempe". Mahasiswa FH-UH mengangkat hukum pidana dimasa kerajaan. Mahasiswa Ilmu pemerintahan Unhas mengangkat tentang Model Birokrasi di Wajo dan relevansinya dengan aspek kesejarahannya. Mahasiswa Antropologi Unhas mengangkat tentang "reproduksi status sosial secara simbolik". Mahasiswa FE-UH menulis tentang model relasi ekonomi pada masyarakat pesisir".Mahasiswa UIN mengangkat tentang "Tradisi Mattola Bala di desa Umpungeng, Kabupaten Soppeng". Saya sangat senang, menjadi "Pembimbing III" mereka, sebuah posisi tidak formal dalam penulisan skripsi yang sedikit banyaknya saya bisa bantu mereka menyelesaikan Skripsinya. Dan tentunya, skripsi adik-adik saya ini adalah dokumen ilmiah yang semoga bermanfaat dimasa depan.
Menurut saya, tradisi latah dalam penulisan skripsi sudah harus diubah. Misalnya "Pengaruh kepemimpinan dalam pengelolaan perusahaan xyz" dalam jurusan Manajemen. Atau "Analisa Laporan Keuangan pada PT.XYZ" pada jurusan akuntansi. Atau "Fenomena anak punk" pada jurusan antropologi dan sebagainya. Seharusnya judul skripsi lebih pada aspek lokalitas yang lebih menyentuh masyarakat. Anggaplah misalnya "memotret sisi ekonomi pada nelayan di paotere". Atau potret anak jalanan di makassar. atau Fenomena ibadah haji. dalam hukum bisnis misalnya hak pinjam pakai danau xyz dan seterusnya.
Sungguh saya sangat berharap, ilmu pengetahuan tidak berada di menara gadingnya. Namun mampu memotret dan membedah realitas sekeliling yang menjadi referensi kita dan anak cucu kita dalam memahami masyarakat kita. Sehingga 50 tahun akan datang, anak cucu kita tidak perlu ke Universitas Leiden untuk mengetahui potret masyarakat sulawesi selatan tahun 2013. Lagipula, kita sudah berada diera cyber, era dialog antar peradaban, era paradigma holistik. dimana metode penelitian tidak melulu harus kuantitatif yang harus terukur, namun ada pilihan pada metode kualitatif yang memberi ruang subyektifitas peneliti. Dan paling penting, akademisi telah menyumbangkan isi pemikirannya tentang masyarakatnya sehingga tidak terjebak lagi di menara gadingnya. Semoga (arm)
Bacaan terkait :
2 komentar
Amin...
kalau jurusan biologi kira-kira ada??
EmoticonEmoticon