ANTARA TRADISIONALITAS DAN MODERNITAS

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Beberapa teori sosial barat gagal untuk mendeskripsikan masyarakat Indonesia akibat kemajemukannya. Di satu sisi kita menemukan kategori masyarakat modern, namun disisi lain kita masih dapat menemukan masyarakat yang masih tradisional. Bahkan ada yang masih sangat sederhana teknologinya.


Kita menemukan fenomena-fenomena keindonesiaan dalam dasawarsa terakhir ini yang sangat miris dan memilukan. Anggaplah misalnya terkikisnya jiwa kolektivitas gotong royong menjadi individualistik. Ketulusan yang digantikan pragmatisme. Kebersahajaan digantikan konsumerisme dan mode. Keramahan yang berganti kemarahan. Kesantunan berganti kekerasan. Malu menjadi cuek. Penghargaan terhadap alam menjadi eksploitasi berlebihan yang pada gilirannya merusak alam itu sendiri. Tentu fenomena tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Termasuk diantaranya adalah efek dari paradigma positivistik yang menguasai ranah ilmu pengetahuan. Pada gilirannya mempengaruhi cara pikir, sikap dan tindakan kita. Ilmu pengetahuan yang melahirkan teknologi, terus berkembang. Dan kita kembali pada pendapat umum bahwa budaya pasti berubah.


Banyak orang mulai merindukan budaya dimasa lalu. Bagaimana leluhur kita berinteraksi dengan alam dan sesama manusia. Banyak orang jenuh dengan sistem perpolitikan kita dan merindukan kearifan pemimpin. Namun kita sudah terlanjur memilih sistem demokrasi yang kita anggap ideal, meski kenyataannya praktek money politics justru banyak merusak nilai budaya kita.

Banyak orang merindukan alam yang dulu asri, sejuk dan kekayaan alam yang melimpah. Namun ideologi developmentalisme yang cicit positivistik terlanjur kita anggap sebagai solusi kesejahteraan. Tidak ada lagi hutan dan pohon keramat. Dan digantikan dengan HGU pada perusahaan tertentu bagi yang legal, dan illegal logging yang membuat rusaknya hutan, berkurangnya habitat banyak spesies, dan kerusakan seperti erosi dan banjir.


Banyak orang berbincang tentang ekonomi kerakyatan, namun kita terlanjur menyetujui pasar bebas, dimana sebagian besar ekonomi kecil kita harus berhadapan vis a vis dengan pemodal besar. Banyak orang merindukan model interaksi yang santun, namun tradisionalitas terlanjur dicap bar-bar, dan demokrasi yang masih multi interpretasi dianggap sebagai solusi final. Banyak orang mengkritisi, bagaimana perempuan dieksploitasi secara ekonomi, sementara kita terlanjur terbuai oleh gagasan-gagasan feminisme yang mengkritisi habis penghargaan tradisional pada perempuan.

Tradisionalitas, dalam pandangan modernitas diidentikkan dengan keterbelakangan, irrasional dan mistis. Positivisme yang melahirkan modernitas dianggap kemajuan. Namun betapa banyak kerusakan yang dihasilkan, meski disisi lain positivisme telah berjasa pada akselerasi teknologi dalam 200 tahun terakhir. Banyak temuan, mulai dari fisika, biologi, kimia, hingga ranah sosial telah turut menyumbangkan bentuk wajah peradaban kita.

Akhirnya kita sampai pada pertanyaan mendasar untuk mendialogkan peradaban. Apakah kita harus melupakan budaya demi modernitas ? Atau apakah kita harus mengabaikan ilmu pengetahuan dan teknologi demi nilai budaya ?

Disini pentingnya menggali kembali nilai budaya kita. Tentu harus melibatkan tokoh adat, sosiolog, antropolog, tokoh agama dan tentunya pemerintah. Kita perlu menginventarisasi nilai budaya kita. Setelah itu diklasifikasi, yang mana perlu dilestarikan, yang mana perlu diubah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan yang mana harus ditinggalkan.


Nilai budaya, kearifan lokal ataupun adat istiadat membutuhkan "hardware" dalam pelaksanaannya. Disitulah letak signifikasi pembentukan lembaga adat. Agar bisa bekerja maksimal, selain menempatkan orang yang ahli dibidangnya, tentu harus didukung oleh pendanaan yang cukup. Sehingga selayaknya dianggarkan oleh pemerintah baik APBN atau APBD. Selain itu, lembaga adat harus berdiri ditengah, sehingga harus independen dan tidak dimasuki oleh kepentingan politik tertentu. Kurang elok jika tokoh atau lembaga adat terlibat dalam urusan dukung mendukung dalam pemilu. Jadinya sekedar pengumpul massa. Efeknya, nilai budaya dapat diklaim oleh kepentingan politik tertentu dan merugikan yang lain. Atau dengan kata lain dipolitisasi. Akan elok jika pada saat pemilu, tokoh adat berdiri ditengah-tengah. Serta menggiatkan pemilu yang damai dan bersih dari money politics. Akan elok jika tokoh adat memperagakan nilai budaya melalui prilakunya, bukan menghidupkan feodalisme yang kita anggap kurang baik.

Nilai budaya juga akan elok jika tidak sekedar pemanis bibir atau slogan semata. Namun diajarkan dibangku sekolah agar tertanam dan membentuk karakter anak didik. Sehingga menjadi penting agar terintegrasi dengan sistem pendidikan yang ada. Bayangkan betapa parahnya jika bahasa daerah telah terlupakan. Apalagi jika bangsa asing lebih memahami bahasa dan budaya kita dibanding anak sekolah kita saat ini. Dapat diprediksi, jika tidak ada langkah yang tepat, 30-50 tahun akan datang, anak cucu kita sudah tidak mengenal lagi budayanya.


Akhirnya kembali pada diri kita semua, bagaimana segelintir orang yang peduli budaya yang mencoba mendamaikan tradisionalitas dan modernitas agar dapat bekerjasama dan mengagas dan berbuat langkah-langkah kongkrit.(arm)


EmoticonEmoticon