Pendahuluan
Dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW) tercatat bahwa awal masyarakat Wajo adalah imigran dari berbagai daerah sekitarnya. Mereka bertutur menggunakan bahasa Bugis. Disekitar danau Lampulung mereka membentuk komunitas tanpa kelas. Pemimpinnya adalah seseorang yang memiliki kemampuan supranatural dan diplomasi. Tercatat Puang ri Lampulung dan dilanjutkan oleh Puang ri Tippengeng sebagai pemimpin komunitas ini yang tidak membangun dinasti sebagaimana To Manurung.
baca :
Setelahnya, La Paukke, keturunan Datu Cina (Pammana) membentuk kerajaan dari sisa komunitas tersebut. Kerajaannya dinamai Cinnongtabik dan mengangkat dirinya sebagai Arung Cinnongtabik I. Saat Arung Cinnongtabik III, dibentuk lembaga perwakilan masyarakat. Matoa-matoa mewakili masyarakat berdasar profesi. Matoa Bettempola mewakili kaum petani, Talotenreng mewakili penyadap tuak. Dan Matowa Tuwa mewakili nelayan. Mereka senantiasa bermufakat (assipetangngareng) dalam memecahkan persoalan bersama.
Hingga Arung Cinnongtabik V, kerajaan Cinnongtabik dipimpin 2 orang bersaudara sekaligus. La Tenribali memimpin dengan bijak, tidak sebagaimana adindanya La Tenritippe. Akibatnya terjadi kegoncangan dan menyebabkan berakhirnya dinasti Cinnongtabik.
Hal ini menjadi awal kerajaan Wajo. Melalui kontrak sosial dibawah bayang-bayang pohon bajo (wajo-wajona pong bajoE), Wajo menjadi nama kerajaan yang berdiri diatas sisa Cinnongtabik. Sebagai kelanjutan Cinnongtabik, Wajo mengikuti tradisi asipetangngareng dan sistem perwakilan masyarakat.
Pada masa Batara Wajo I dan II, masyarakat hidup dalam ketentraman. Namun saat Batara Wajo III, justru melakukan hal tercela. Beliau diperingatkan tapi tidak digubris. Akhirnya masyarakat mengeksekusinya.
Efeknya kemudian adalah terjadinya Vacuum Of Power. Setelah melewati proses yang rumit, akhirnya lahir perjanjian Lapaddeppa. Poin pentingnya adalah deklarasi kemerdekaan orang Wajo (Maradeka To Wajo E). Kemudian supremasi hukum (Ade’na Na Popuang).
Perubahan mendasar terjadi pada sistem kenegaraan. Corak Monarki Absolut yang melekat pada Batara Wajo berubah menjadi Monarki Konstitusional pada Arung Matowa Wajo. Arung Matowa bukanlah Raja tertinggi, sebab dipilih oleh keenam Raja lainnya. Arung Matowa berfungsi sebagai koordinator dari enam raja utama (Arung Ennengnge). Arung Ennengnge terdiri dari tiga Ranreng dan tiga Pabbate. Ranreng membawahi Limpo dan Pabbate adalah pemegang Panji.
Mereka antara lain Ranreng Bettempola, Ranreng Talotenreng, dan Ranreng Tuwa. Sementara jabatan Pabbate Pilla, Patola dan Cakkuridi dimunculkan pada zaman Arung Matowa IV La Tadampare puangrimaggalatung atas saran Datu Luwu Dewaraja
Struktur yang bertambah adalah Matowa Pabbicara sebanyak 30 orang yang dibawahi oleh tiap Ranreng. Ditambah Suro Palele Toana masing-masing 1 orang tiap Limpo. Dari hal ini menjadi Arung PatappuloE (40 Penguasa) yang menjadi pemimpin di Wajo.
Satu hal yang menarik adalah selama kepemimpinan Arung Matowa hampir tidak ditemukan pewarisan dari ayah ke anak. Hal ini dikarenakan orang Wajo menolak kepempinan yang semata-mata faktor genetis, tapi berdasarkan kemampuan yang dipilih oleh Arung Ennengnge dan Arung Patappulo.
Selain itu, penggabungan kerajaan lain dalam Wajo senantiasa diberi hak otonomi dalam mengelola daerahnya. Wajo sebagai kerajaan induk tidak mencampuri adat kerajaan bawahannya. Tetapi Wajo bersedia memberi bantuan jika diperlukan. Adapun yang diminta Wajo sebagai kerajaan Induk bukanlah upeti. Akan tetapi sekedar pengakuan pada Wajo dan memilih untuk berada dalam koordinasi salah satu Limpo yang dipimpin oleh Ranreng. Juga kesertaan apabila Wajo terlibat perang dengan kerajaan lain.
Hubungan Ekonomi dan Politik
Keberpihakan Wajo pada Gowa pada perang Makassar 1667 ditebus dengan harga mahal. Tosora, ibukota Wajo dibumi hanguskan dan Wajo dipaksa membayar upeti dan denda perang. Pada saat itulah gelombang imigrasi orang Wajo dimulai.
Setelah beberapa dekade, Arung Matowa La Salewangeng memperkuat aspek ekonomi Wajo. Pada zamannya, dibentuk semacam koperasi dan pedagang diberi bantuan. Pelan tapi pasti, akhirnya terbentuk kelas ekonomi baru. Wajo memasuki masa kapitalisme tradisional, sehingga corak feodalismenya agak berbeda dengan daerah lain. Untuk itu dibutuhkan sistem yang lebih rapi. Lahirnya undang-undang pelayaran Amanagappa adalah efek langsung dari hal ini.
Baca :
Akhir abad 19, La Koro Arung Padali Arung Matowa Wajo merombak sistem militer tradisional. Pilla, patola dan cakkuridi lebih dijadikan simbol. Disisi lain dibentuk militer dengan kepangkatan seperti Petta Jenerala, Petta Kolonele, Manynyoro’, dan KapitangngE. Sementara untuk mengendalikan lili’ (vassal) diangkat Sulewatang sebagai perpanjangan tangan langsung Arung Matowa. Artinya, kepengikutan lili’ bukan lagi pada salah satu dari tiga limpo, tapi langsung pada Arung Matowa. Wajo mengarah pada Monarki Absolut, setelah La Koro mengangkat dirinya Batara Wajo.
Setelah keretakan pada lembaga Arung Patappulo, Wajo semakin melemah. Saat Rumpa’na Bone tahun 1905, Wajo mengirim pasukan untuk membantu Bone melawan Belanda. Kekalahan Bone berarti Wajo turut menanggung denda perang kepada Belanda.
Setelah Belanda bercokol di Wajo, sebagaimana kerajaan sekitar, sistem pemerintahannya dirombak. Kerajaan Wajo dibawahi oleh Controleur Belanda sebagai Onder Afdeling Wajo. Jabatan Arung Matowa yang pada mulanya sebagai koordinator Arung Enneng dinaikkan menjadi atasan Arung Pattappulo, termasuk Arung Enneng. Para Ranreng dan Pabbate, dijadikan semacam kepala dinas.
Perombakan ini tentu dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah kolonial mengendalikan kerajaan-kerajaan lokal, terutama Wajo. Akan tetapi sejarah berkata lain. Bersama pejuang dari daerah lain, pejuang Wajo menggabungkan dirinya dalam LAPRIS. Hal ini menjadi cikal bakal integrasi dalam RI.
Integrasi
Integrasi pada Republik Indonesia Serikat adalah periode transisi dari kerajaan ke kabupaten. Sejak pengunduran diri Arung Matowa Andi Mangkona tahun 1949, Wajo terus mencari bentuk. Hingga keputusan pemerintahan Soekarno tahun 1957, Wajo menjadi salah satu kabupaten dalam wilayah provinsi Sulawesi.
Selama pemerintahan Orde Lama dan Baru, demokrasi orang Wajo mencari bentuk baru. Penyebabnya adalah proses adaptasi pada sistem pemerintahan Republik yang tergolong baru. Apalagi di zaman Reformasi ini. Bersama seluruh bangsa Indonesia, orang Wajo terus belajar berdemokrasi. Meski demokrasi adalah tradisi mereka yang pernah ada dan lebih dahulu dari bangsa penjajah yang kini berceloteh tentang demokrasi.
23 Maret 2009
1 komentar so far
catatan sejarah separti ini seharusnya selalu menjadi perhatian oleh pihak-pihak tertentu termasuk pemerintah setempat untuk dijaga, dilestarikan sekaligus disebar luaskan kepada masyarakat hususnya para generasi penerus, agar mereka tidak kehilangan jejak mengenai asal usul daerahnya
EmoticonEmoticon